Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng

3131683
Judul: Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng
Penulis: Jostein Gaarder
Penerbit: Mizan
Tebal: 394

Peter, adalah anak laki-laki yang dijuluki dengan nama ‘Si Laba-laba’. Peter sangat suka sendiri. Ia senang duduk seorang diri untuk berpikir. Ia pandai berimajinasi dan membuat cerita. Kepalanya selalu penuh dengan cerita khayalannya sendiri.

Laba-laba adalah tokoh cerita pertama Peter. Ia menyusun cerita mengenai seorang gadis pemain trapeze di sebuah sirkus. Sirkus menjadi pilihan cerita Peter karena setiap minggu Ayahnya mengajak Peter menonton sirkus. Walaupun sirkus itu hebat, sirkus khayalan Peter lebih hebat lagi.

Si gadis pemain trapeze dalam cerita Peter sesungguhnya adalah putri sang pemimpin sirkus. Namun malangnya, baik sang pemilik sirkus ataupun sang putri sama-sama tidak menyadari bahwa mereka memiliki hubungan darah Ayah dan anak. Suatu ketika, si gadis pemain trapeze ini terjatuh sehingga lehernya patah. Saat berdiri dan menunduk di atas tubuh gadis itu sang pemilik sirkus melihat liontin dari getah ambar yang di dalamnya terdapat fosil laba-laba berumur jutaan tahun menggantung di leher sang gadis. Saat itu lah sang pemilik sirkus menyadari bahwa gadis pemain trapeze ini adalah putrinya yang ia kira telah tenggelam.

Cerita khayalan ini membuat Peter ketakutan oleh imajinasinya sendiri, terutama juga ia takut oleh kehadiran seorang laki-laki kecil yang membawa tongkat bambu di dalam mimpinya. Hanya Peter yang dapat melihat laki-laki kecil tua itu. Lelaki kecil bertopi hijau itu berhasil keluar dari mimpi Peter namun sejak saat itu ia mengikuti Peter sepanjang hidup. Seolah lelaki itu merasa bertanggungjawab atas diri Peter. Laki-laki di dalam mimpi itu muncul begitu saja di dalam dunia nyata Peter bersamaan dengan waktu yang sama ketika Ayah Peter meninggalkan rumah.

Sepeninggal Ibu, orang terdekat yang paling ia kasihi, Peter menempati flat itu sendiri. Rasa kesepian membuat Peter mulai membuka diri terhadap gadis-gadis untuk menemaninya. Sampai suatu ketika ia berkenalan dengan Maria, seorang gadis yang dicintainya. Peter sering menceritakan dongeng-dongeng khayalannya kepada Maria. Maria terpesona oleh Peter namun ia tak ingin membina hubungan mereka ke arah yang lebih serius. Maria mencintai Peter sekaligus takut oleh imajinasi Peter yang meruap-ruap. Suatu hari Maria memberi kabar bahwa dirinya akan pindah ke kota lain, namun sebelum kepergiannnya ia ingin memiliki anak dari Peter.

Peter kemudian menjalani profesi sebagai penjual imajinasi oleh karena kepandaiannya mereka-reka cerita. Ia membantu para penulis atau mereka yang ingin menjadi penulis dengan menyediakan cerita-cerita bagi mereka yang mengalami kebuntuan ide. Program ini ia namakan dengan Writer’s Aid. Awalnya program ini berjalan sangat sukses. Banyak penulis yang menjadi terkenal dengan menggunakan cerita miliknya. Peter, si laba-laba perlahan terjebak dalam jejaring yang dipintalnya sendiri. Skandal memalukan itu akhirnya tercium oleh dunia sastra internasional. Nyawa Peter pun terancam. Peter tidak pernah menyangka bahwa kehancurannya itu bersumber dari perbuatan di masa lalunya.

Ulasan
Sang tokoh, Peter, digambarkan sebagai orang yang terobsesi dengan cerita-cerita. Ia senang menyusun plot untuk buku, film dan theater. Imajinasinya tumpah ruah. Namun ia tak tertarik untuk menulis novel. Agak terdengar tidak biasa. Namun Gaarder mengibaratkan kesenangan sang tokoh ibarat seorang penggemar olahraga pancing yang tidak suka menyantap tangkapannya. Namun demikian mereka menikmati waktu yang dihabiskan berjam-jam mengawasi tali pancing mereka. Dan sesudahnya jika mereka berhasil mendapatkan seekor ikan, mereka akan memberikan kepada teman-temannya atau mengembalikan ikan itu ke air. Orang memancing tidak semata untuk menghemat uang belanja, namun ada nilai kenyamanan pada kegiatan ini. Memancing dalam pandangan mereka adalah permainan keanggunan, sebuah seni tingkat tinggi. Menyitir analogi Ernst Junger (yang juga ada di buku ini, halaman 85), “seseorang sebaiknya tidak menyesali gagasan yang menghilang. Seperti seekor ikan yang terlepas dari mata pancing kemudian berenang masuk ke kedalaman air, suatu hari kembali dengan tubuh yang lebih besar. Sementara jika seseorang menangkap ikan, mengeluarkan isi perutnya, lalu melemparkannya ke dalam ember plastik, perkembangan dari ikan itu jelas terhenti. Hal yang sama persis dapat dikatakan bagi gagasan di balik sebuah novel, begitu ia disajikan dengan ‘saus’ yang ‘lezat’, atau bahkan dipublikasikan. Barangkali dunia kebudayaan punya karakteristik terlalu banyak menangkap tetapi terlalu sedikit melepaskan.”

Perenungan hakikat makna hidup dan peran kita di dunia juga disisipkan dalam dialog pribadi sang tokoh.
“Banyak orang sedemikian kecanduan dengan kesan-kesan indriawi sehingga tidak mampu lagi memahami bahwa di luar sana ada sebuah dunia. Karena itu, mereka juga tidak mampu memahami hal sebaliknya. Mereka tidak paham bahwa suatu hari, dunia akan berakhir. Bagaimanapun, kita hanya beberapa detak jantung jauhnya dari berpisah dengan umat manusia untuk selama-lamanya.

Bertemu dengan orang-orang sombong sungguh merupakan suatu berkat. Mereka hidup seolah-olah ada yang dapat dicapai dalam kehidupan ini, seolah-olah ada yang bisa diraih. Tetapi, kita ini debu. Karenanya, tak ada yang perlu dipermasalahkan. (halaman 88-89)”

Bagaimana akhir kisah Peter? Bagaimana pula nasib laki-laki kecil bertopi hijau? Barangkali rasa penasaran yang membuat saya bergeming, tenggelam dalam setiap untaian kata di dalamnya. Gaarder memang pendongeng yang handal. Pemikiran-pemikiran filsafat pun menjadi begitu menarik melalui tulisannya. Memahami filsafat adalah belajar mengenal diri kita, tak selalu harus dimengerti barangkali cukup dengan merasakan.

“Saya melihat dunia sebagai benda yang tidak nyata dan mengelabui kita. …
Telah kulihat nyaris segala hal. Satu-satunya yang tak mungkin kupahami adalah dunia itu sendiri. Terlalu luas. Terlalu sulit ditembus. Aku sudah sejak lama menyerah untuk memahaminya. Hanya itu saja lah yang menghalangiku merasa mendapat wawasan menyeluruh.” (halaman 117).

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.