Robohnya Surau Kami

Judul: Robohnya Surau Kami
Penulis: A.A. Navis
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 139

Ada sepuluh cerita pendek di dalam buku ini. Salah satunya yang cukup fenomenal yaitu “Robohnya Surau Kami”.

Bercerita tentang seorang kakek yang bersedih setelah mendengar cerita dari Ajo Sidi. Cerita itu adalah tentang percakapan Tuhan dengan seorang manusia yang bernama Haji Saleh, di akhirat ketika Tuhan memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Haji Saleh meyakini bahwa dirinya akan dimasukkan ke surga. Namun ternyata Tuhan mengirimnya ke neraka. Haji Saleh kaget dan begitu tercengangnya ketika ia mendapati teman-temannya sedang merintih kesakitan di dalam sana. Ia tak mengerti karena semua orang yang dilihatnya adalah mereka yang tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Akhirnya mereka semua memutuskan untuk memprotes keputusan Tuhan. Dan inilah jawaban Tuhan:

“…kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja.”

Semua menjadi pucat pasi, dan bertanyalah haji Saleh pada malaikat yang menggiring mereka.

“Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’

“Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikitpun.”

Navis seperti ingin mengingatkan kita yang seringkali berpuas diri dalam ibadah, tapi sesungguhnya lupa memaknai ibadah itu sendiri. Kita rajin sahalat, mengaji dan kegiatan ritual keagamaan lainnya karena kita takut masuk neraka. Kita menginginkan pahala dan keselamatan hanya untuk diri kita sendiri. Kita melupakan kebutuhan orang lain. Karenanya kita tidak merasa berdosa dan bersalah ketika mengambil hak orang lain, menyakiti perasaan sesama atau bahkan melakukan ketidakjujuran dan kemaksiatan di muka bumi.

Jika demikian, maka kesalehan agama yang kita miliki tak lebih superfisial saja sifatnya. Kita tidak sepenuhnya ikhlas.

Kita lupa bahwa belajar dan bekerja dengan sungguh-sungguh adalah juga ibadah. Berbuat baik terhadap sesama makhluk hidup juga ibadah. Dan bahwa kita mempunyai tangungjawab sosial terhadap masyarakat dan sekeliling kita.

Comments

  1. Waah, cerpen ringan ini emang gak bosan2 dibahas… Kata2 yang masih aku ingat sampe skr itu: “Kau sangka Aku gila hormat sehingga setiap detik nama-Ku dipanggil?” (>.<)

    Cukup nyentil kita utk berusaha berjuang, jangan hanya meminta dan mengeluh.
    (^.^)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.