Gardens of Water


Judul: Gardens of Water
Penulis: Alan Drew
Penerjemah: Arum Darmawan
Penyunting: Siti Nur Andini
Penerbit: Literati
Tahun terbit: 2009
Tebal: 643

Gardens of Water berkisah tentang kehidupan dua keluarga yang tinggal di pinggiran daerah Turki. Sinan beserta Nulifer, istri dan kedua anaknya, Ismail dan Irem. Mereka adalah keluarga muslim Kurdi yang taat. Sarah Hanim, Marcus, dan Dylan, keluarga Amerika yang tinggal tepat di lantai atas rumah susun keluarga Sinan. Secara diam-diam, Irem dan Dylan, dua remaja dengan latarbelakang budaya dan keyakinan yang berbeda ini menjalin komunikasi melalui jendela kamar.

Suatu ketika Sinan berniat mengkhitankan Ismail. Sinan dan keluarganya mempersiapkan perayaan yang mewah untuk mengantarkan anak laki-laki mereka menjadi dewasa. Irem, anak gadis Sinan merasakan kecemburuan yang besar melihat perlakuan berbeda orangtuanya. Tidak ada pesta meriah, uang dan pakaian mewah untuk Irem ketika suatu hari ia menemukan noda darah di seprai sebagai tanda bahwa dirinya sudah menjadi wanita. Irem bukan tidak menyayangi adiknya, ia hanya cemburu melihat besarnya tumpahan kasih sayang orangtuanya kepada Ismail.

Ibu Sinan bermaksud mengundang pasangan Amerika ke pesta khitan Ismail, namun Sinan merasa sedikit keberatan. Sinan tidak menyukai orang Amerika. Kehidupan masa kecilnya membuat gambaran buruk tentang Amerika. Ia teringat kata-kata ayahnya, “Orang-orang Amerika membiarkan orang-orang Turki melakukan ini pada kita, ” (halaman 59). Ayahnya terbunuh pada suatu malam ketika sebuah mobil jip paramiliter tiba dan ayah Sinan bersama para lelaki lain memekikkan “Hidup Kurdistan”.

Malam setelah pesta khitan berakhir terjadi sebuah peristiwa gempa besar yang menerjang barat laut Turki. Sinan kehilangan Ahmet, adik ipar yang telah banyak menolong Sinan dan keluarganya. Ismail ditemukan setelah 3 hari terkurung dalam reruntuhan dibalik pelukan Sarah Hanim yang tewas dalam peristiwa tersebut. Sinan merasa berhutang budi kepada keluarga Amerika itu.

Setelah gempa, Sinan dan keluarganya tinggal di tenda darurat di atas bukit. Di sana tinggal juga keluarga lain. Fasilitas yang minim membuat kondisi kesehatan para pengungsi rentan terhadap penyakit. Suatu hari Marcus Bey datang menawarkan Sinan untuk pindah ke kamp. Walau awalnya Sinan menolak tapi kemudian dia mengikuti saran Marcus demi keluarganya. Di sini hubungan Irem dan Dylan semakin dekat. Irem yang kesepian dan merasa tidak disayangi orangtuanya menemukan kebahagiaan bersama Dylan.

Lanjutan kisah kasih Irem dan Dylan silakan dibaca sendiri ya :). Alih-alih kisah perihal cinta romantis, buku ini sebenarnya berkisah banyak tentang kasih sayang orangtua dan anak, ketegangan antara menghormati tradisi dan keinginan memeluk kebebasan pribadi, konflik antara kebudayaan dan keyakinan, penyesalan orangtua dan gairah anak muda.

Ada suatu dialog yang saya suka, halaman 514.
“Masalahnya denganmu, Sinan, adalah kau hidup di dunia yang tidak ada lagi. Kau masih berpikir wanita tidak bisa berpikir sendiri. Kau masih percaya ada batasan yang tidak boleh diseberangi orang–orang Amerika harus tetap di Amerika, orang Inggris di Inggris, orang Kurdi di Kurdistan, jika ada tempat yang seperti itu. Dunia tidak seperti itu lagi dan kau tidak bisa melarikan diri dari dunia. ”

Tidak bisa dinafikan bahwa banyak manusia yang masih hidup di masa ‘lampau’ dan tidak menyadari bahwa dunia berputar dan terus berubah. Seperti manusia, dunia pun berubah. Bukan berarti mengikuti arus, namun kita harus mampu beradaptasi agar mampu mengantisipasi dan membentuk masa depan dunia yang lebih baik. Mengingkari kenyataan bahwa dunia berubah akan menimbulkan goncangan psikologis. Alvin Tofler pernah mengulas mengenai ini dalam bukunya Future Shock.

Alan Drew juga mengungkapkan dengan apik pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan, seperti yang terjadi pada dialog Ismail dan sang Ayah di halaman 413.

“Mengapa Tuhan memberimu kaki itu?”, Ismail mempertanyakan kaki ayahnya yang cacat.

Sinan: “Tak ada manusia yang sempurna, Ismail. Ada yang punya paru-paru yang lemah, ada yang punya mata yang lemah, dan ada yang punya jantung yang lemah. Baba punya kaki ini. Kalau kita sempurna, kita tidak akan membutuhkan Tuhan. Dia mengerti itu sehingga saat Dia menciptakan kita, Dia membuat kita tak sempurna agar kita tetap dekat dengan-Nya.”

Indah, bukan? Buku ini membuat kita belajar menghargai perbedaan, belajar menjadi bijak melalui kisah Sinan dan Marcus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.