Laika

laika.jpgSuatu hari di sebuah toko buku, mata saya  terpaku pada sebuah buku dengan gambar seekor anjing dan pesawat antariksa. Buku cerita bergambar ini berjudul Laika. Sepertinya menarik, saya sempat mem-browsing halaman dalam komik tersebut. Ragu antara ingin membeli atau tidak. Tak lama, partner mendekat dan mengambil buku itu. Kemudian, “Siapa yang pertama kali ke luar angkasa?”tanyanya.

Yuri Gagarin adalah kosmonot pertama dari Uni Soviet/Rusia, yang berhasil menerbangkan pesawat antariksa pada bulan April 1961.  Jauh sebelumnya, tepatnya tanggal 4 Oktober 1957, Uni Soviet mencengangkan dunia dengan peluncuran Sputnik I, satelit buatan pertama di dunia. Pencapaian prestasi ini menjadi bukti nyata atas keunggulan teknologi negeri tersebut, yang kala itu sedang berperang dingin dengan Amerika Serikat.  Keberhasilan yang luar biasa membuat pemimpin Uni Soviet, Nikita Khruschev, memutuskan untuk memberikan kejutan yang lebih besar untuk perayaan ulang tahun ke-40 Revolusi Oktober (Kira-kira, tenggat waktu satu bulan setelah peluncuran Sputnik I yang spektakuler). Waktu yang singkat bagi para ilmuwan untuk mengelola program antariksa Uni Soviet, dengan peluncuran Sputnik II yang berpenumpang. Projek ini kelak menentukan nasib Laika, sehingga misinya menjadi misi sekali jalan saja.

Laika sendiri adalah seekor anjing jalanan yang kelak dipilih untuk menjadi pelopor sekaligus martir dalam peluncuran Sputnik II.

Alih-alih menjadikan program antariksa ini sebagai kelanjutan dari Sputnik I, penyesalan atas nasib Laika yang  dikirim untuk mati di luar angkasa menuai protes dari berbagai kalangan. Seperti dikatakan Oleg Gazenko pada akhir buku itu sendiri. “Bahwa nilai ilmiah Sputnik II sangat kecil. Tidak banyak yang bisa disumbangkannya pada penerbangan antariksa pertama yang dipiloti manusia, yakni Yuri Gagarin pada bulan April 1961.”

Penyesalan Oleg pun tertulis dalam kutipan berikut ini.

“Bekerja bersama binatang-binatang merupakan sumber penderitaan bagi kami semua. Kami memperlakukan mereka seperti bayi-bayi yang tidak bisa bicara.

Dengan berlalunya waktu, semakin besar penyesalanku. Tidak banyak yang kami pelajari dari misi itu untuk bisa membenarkan kematian anjing tersebut.”

Kisah ini dirangkum dengan indah oleh Nick Abadzis. Melalui riset yang teliti dan gabungan imajinasi antara manusia dan anjing, menjadikan cerita ini mempesona dan mengharukan.

“Sebuah renungan yang dalam atas makna takdir serta betapa indah dan rapuhnya rasa percaya.” (Alexis Siegel, 2007).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.