Pengantin Surga


Judul asli: The Story of Layla and Majnun
Penulis: Nizami Ganjavi
Penerjemah: Ali Nur Zaman
Penyunting: Salahuddien Gz
Penerbit: Dolphin
Tebal: 250

“Roh agung yang berbicara tentang perhelatan termanis dari cinta yang terdalam, itulah Nizami.” ~ Goethe

“Karya Nizami adalah selubung yang menirai kebenaran hakiki dan pengetahuan ilahi.” ~ Abdurrahman Jami

Pengantin Surga, yang naskah aslinya berjudul Layli o Majnun adalah cinta klasik turun temurun yang dikisahkan di tanah Arab sejak masa dinasti Umayyah berkuasa.

Alkisah adalah seorang penguasa Badui bernama Syed Omri yang berkuasa atas Bani Amir. Ia memiliki seorang putra yang telah lama dinantinya. Anak itu bernama Qays. Qays tumbuh menjadi anak yang rupawan dan menjadi salah satu murid terbaik di sekolahnya. Qays pun cepat menguasai seni baca tulis. Apapun yang keluar dari mulutnya bak mutiara. Indah didengar.

Suatu hari sekolah itu kedatangan murid baru, seorang perempuan yang jelita. Kecantikannya memabukkan bagi siapapun yang melihatnya, tak terkecuali Qays.

Qays dan Layla-nama anak perempuan itu-kemudian saling tertarik. Kedekatan mereka kemudian diketahui oleh guru, teman dan orang tua Layla. Orang tua Layla membawa gadis itu pulang ke rumah dan mengurungnya. Sejak itu Qays tidak dapat lagi bertemu dan melihat Layla. Qays menjadi gila oleh karena kerinduan dan cintanya pada Layla. Sementara Layla hanya memendam kesedihannya sendiri.

Hidup Qays menjadi tidak karu-karuan. Ia larut dalam pemujaannya terhadap kekasih hatinya. Ia melantunkan syair-syair cinta dan kerinduan untuk Layla. Syair-syair indah itu membuat siapapun yang mendengarnya begitu tersentuh. Mereka mencerap dalam-dalam dan mendendangkannya kembali. Tak jarang dari mereka kemudian menjadi pecinta.

Qays tak lagi peduli pada sekitarnya. Segenap jiwa dan hatinya hanya dipenuhi oleh Layla seorang. Karena itu kemudian orang-orang memanggilnya dengan majnun (dalam bahasa arab artinya gila). Segala upaya Ayah, keluarga, dan teman-temannya agar Qays melupakan Layla tidak berhasil. Sebaliknya, cintanya semakin kuat. Ia bahkan tidak menghiraukan kesedihan dirinya sendiri.

“Seorang manusia yang dilanda cinta tak akan mencemaskan hidupnya. Manusia yang mencari kekasihnya tak akan jeri dengan dunia sama sekali. Di manakah pedang itu? Biarlah pedang itu melukaiku sebagaimana awan menelan rembulanku. Jiwaku telah jatuh ke dalam pelukan api. Sekalipun harus sakit terbakar di dalamnya, aku tidaklah memedulikannya.” (hal 55).

Kedua sejoli itu bercakap dengan alam. Syair-syair Qays untuk Layla didendangkan oleh banyak orang. Layla mendengar syair-syair itu dan mengirimkan balasan melalui carik-carik kertas yang ia tulis dan membiarkan angin menyampaikannya untuk Qays.

“Aku tetap milikmu, betapapun jauh dirimu!
Deritamu, bila kau bersedih, juga akan menyedihkanku.
Tiada tiupan angin yang tak menghantarkan bau tubuhmu.
Semua burung seperti memanggil-manggil namamu.
Setiap kenangan yang meninggalkan jejaknya bersamaku,
Bertahan selamanya, seakan menjadi bagian dari diriku.” (hal 102).

Waktu berlalu dan Layla kemudian dinikahkan dengan Ibnu Salam. Namun sampai akhir hayatnya, Layla tetap setia kepada Qays. Sementara itu Qays kehilangan unsur kemanusiaan dalam dirinya. Ia berkawan dengan binatang-binatang. Mereka pun menjaga dan melindunginya. Jiwa Qays sepenuhnya lebur ke dalam bayang-bayang kekasihnya.

“Bila kau tahu hakikat seorang pecinta, kau akan menyadari bahwa ketunggalan harus meniadakan dirinya, untuk musnah ke dalam pelukan kekasihnya.” (hal 146)

**
Kisah Layla dan Majnun ini oleh beberapa orang diyakini bersumber dari kisah nyata pemuda arab bernama Qays. Ada banyak versi. Namun semuanya memiliki kemiripan, yaitu Qays menjadi gila oleh karena cintanya pada Layla.

Cinta dan kerinduan pada Layla melarutkan Qays pada kesedihan. Namun sesungguhnya kesedihan itu memberi Qays jalan menuju kebebasan, membebaskannya dari belengu keakuan, yaitu ketika ia lebur dalam bayang kekasihnya.

Kisah Layla dan Majnun ini kemudian menjadi inspirasi bagi banyak orang. Tidak sekedar kisah cinta antara sepasang manusia, namun juga tingkatan cinta yang lebih tinggi, yaitu cinta kepada Sang Pencipta. Bagi sufi, tokoh Majnun mewakili gambaran seorang pecinta. Seorang hamba yang mencari Tuhan-Nya.

Dalam kaitannya dengan sufisme, saya teringat pada sebuah buku “Indahnya Menjadi Sufi”, yang memaparkan tentang ekstatik. Ekstatik adalah model penyatuan dengan mensyaratkan sebuah kunjungan khusus yang mengangkat jiwa keluar dari badan-dan membawanya menuju yang lebih tinggi, yakni sebuah tingkat kesadaran yang berbeda. Pengalaman ini bisa berlangsung begitu hebat, sangat emosional sehingga mengirimkan badan menuju ledakan-ledakan. Mereka mengistilahkan dengan sebutan ‘pemabuk spiritual’, sebab mabuk ketuhanan memisahkan mereka dari dunia normal. (Seperti yang terjadi pada tokoh Majnun dalam cerita di atas).

Majnun adalah representasi dari kelas sufi yang paling besar, yaitu cinta, ketika tokoh Qays menarik apa yang barangkali menjadi emosi yang paling kuat dalam hati manusia meskipun banyak manusia yang menahannya.

Kisah yang indah dan menggugah, meniupkan letupan-letupan menuju cinta yang hakiki, Tuhan Sang Pencipta.

Sekilas mengenai penulis (dikutip dari buku Pengantin Surga).

dokumentasi: dari sini.
Nizami Ganjavi (1141-1209) adalah pujangga terbesar dalam khazanah sastra Persia, dianggap sebagai penulis yang membawa gaya tutur realistis ke dalam kisah epik di Persia. Lahir di Ganja, salah satu kota besar di Azerbaijan, bagian Kesultanan Seljuk, ia menghabiskan seluruh masa hidupnya di sana. Karya-karyanya tak hanya dipengaruhi oleh sastra Arab dan Persia, baik tradisi lisan maupun tulisan, melainkan juga oleh matematika, astrologi, kimia, farmasi, ilmu tafsir, teori dan hukum Islam, sejarah, filsafat, mistisisme, musik, dan seni visual. Jejak-jejak Nizami sangat terasa dalam kesusastraan Islam. Karya tulisnya mempengaruhi perkembangan sastra Persia, Arab, Turki, Kurdi, Urdu, juga Nusantara.

Pengantin Surga (yang judul aslinya Layli o Majnun) adalah karyanya yang paling tersohor. Karyanya yang lain adalah Makhzan Al-Asrar (Gudang Rahasia), Haft Peykar (Tujuh Bidadari), dan Eskandarnameh (Kitab Iskandar).

Comments

  1. Baru tau ini buku tentang apa setelah baca review-nya si mbak… Selama ini nggak tau kalau buku ini tentang kisahnya Layla Majnun, kirain kisah cinta biasa… *tepok jidat sendiri*

  2. Keabadian cinta sudah terwakili oleh kisah cinta Majnun terhadap Layla.. Hebat.!

  3. @Putri: Saya juga nggak tahu sebelum baca judul aslinya 🙂
    @Rivai: 🙂

Leave a Reply to Enggar Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.