Judul asli: The Prophet
Penulis: Kahlil Gibran
Penerbit: Bentang Pustaka
Penerjemah: Sapardi Djoko Damono
Saya pernah membaca buku ini yang ketika itu diterbitkan dengan judul Sang Nabi. Saya tertarik membelinya kembali karena nama penerjemah dibelakang buku Almustafa, yaitu Sapardi Djoko Damono. Siapa yang tak kenal Beliau? Seorang penyair ternama di Indonesia. Salah satu karyanya yang paling dikenal adalah Hujan Bulan Juni.
Buku ini berkisah tentang seorang tokoh yang bernama Almustafa. Mengutip sinopsis dari buku tersebut: cerita bermula ketika Almustafa bersiap naik ke kapal yang akan membawanya kembali pulang ke negeri asalnya setelah 12 tahun berada di negeri asing. Kapal itu dihentikan oleh penduduk setempat. Mereka meminta Almustafa bercerita tentang rahasia yang terbentang antara kehidupan dan kematian.
Karya-karya Gibran selalu enak dibaca, bahasanya yang puitis dan pemikirannya yang mendalam pada berbagai hal, sungguh sangat menarik untuk direnungkan kembali.
Seperti dalam cinta:
“Bahkan ketika cinta memasang mahkota di kepalamu, ia pun sekaligus menyalibmu. Bahkan meskipun ia menumbuhkanmu, ia pun sekaligus memangkasmu.
Itulah segala yang dilakukan cinta terhadapmu agar kau memahami rahasia hatimu, dan karenanya menjadi serpihan dari hati Kehidupan.
Atau pemahaman tentang perkawinan:
“Bernyanyi dan menarilah bersama dan bergembiralah, tetapi biarkan masing-masing tetap sendiri-sendiri, Bagaikan dawai-dawai sitar yang tetap terpisah-pisah akan bergetar bersama-sama ketika mencipakan alunan musik.
Serahkan hatimu, tetapi tidak untuk saling memilliki. Sebab hanya tangan Kehidupan yang bisa menampung hatimu. Dan berdirilah berjajar tetapi jangan terlalu dekat, sebab pilar-pilar rumah pun tegak terpisah-pisah, Dan pohon ara dan cemara tumbuh tidak saling membayangi.”
Persahabatan:
“Carilah ia selalu sepanjang waktu untuk hidup. Sebab dialah yang akan memenuhi kebutuhanmu, dan bukan kekosonganmu. Dan dalam keindahan persahabatan biarkan terdengar tawa, dan berbagi kegembiraan. Sebab dalam embun yang sepelelah hati menemukan paginya dan menjadi segar.”
Tentang pengajaran:
“…. Ahli perbintanga mungkin saja berbicara kepadamu tentang ruang angkasa, tetapi ia tidak bisa memberi kearifannya kepadamu. ……
Sebab pandangan seseorang tidak akan meminjamkan sayapnya kepada orang lain. Dan sebagaimana masing-masing kamu berdiri sendiri di dalam pengetahuan Tuhan, maka setiap kamu harus sendiri juga dalam pengetahuannya tentang Tuhan dan dalam pemahamannya tentang bumi ini.”
Dan maut:
“Dan apa pula makna berhenti bernapas kalau bukan membebaskan napas dari helaan dan embusan yang tak kunjung henti, agar bisa melambung dan meluas dan mencari Tuhan tanpa beban?
Kita pengembara, senantiasa mencari jalan yang lebih sunyi, bermula dari entah kapan saat kita mengakhiri di hari yang lain, dan tidak ada fajar yang menjumpai kita di tempat senjakala meninggalkan kita.
Bahkan ketika bumi tidur kita mengembara.
Kita adalah benih dari tumbuhan yang kukuh, dan ketika matang hati kita diserahkan kepada angin untuk diceraiberaikan.”
Comments