Bakat Bukan Takdir

IMG_20160329_214407
Judul: Bakat Bukan Takdir
Penulis: Bukik Setiawan & Andrie Firdaus
Penerbit: Buah Hati
Tahun terbit: 2016
Tebal: 250

Menuntaskan buku ini di tengah-tengah ‘paksaan’ istirahat di RS. Bahkan Ibu dokternya pun berkomentar, suka baca ya mbak?, begitu melihat sampul buku ini menyembul dari balik bantal ;).

Membaca tulisan di awal buku Pak Bukik ini mengingatkan saya kepada pertanyaan serupa yang pernah saya tanyakan kepada Ibu, apa perlunya saya belajar banyak hal? Jawaban Ibu saya sederhana saja, nggak pp kamu belajar banyak (pengetahuan), karena kamu akan menemukan kesukaanmu (minat). Dan dari sana kamu bisa mengembangkan potensi yang kamu miliki.

Saya kira Ibu saya benar :). Dan serupa dengan yang dituliskan Pak Bukik, ketika seorang anak bertanya apa perlunya mereka belajar banyak hal, pada titik itu lah peran orangtua menjadi sangat penting. Karena orangtualah yang dapat membantu anak merajut semua pengetahuan menjadi kearifan yang mengarah pada tujuan hidup anak. Karena orangtualah yang dapat memfasilitasi anak untuk menerapkan pengetahuan menjadi keterampilan dan kebiasaan hidup. (halaman 6).

Lalu, bagaimana cara orang tua atau pendidik mengarahkan putra-putri mereka untuk kelak dapat meniti karir sesuai minat dan bakat mereka? Nah, buku ini tidak sekedar berteori namun juga memberikan latihan praktis bagi orang tua untuk menyiapkan anak-anak mereka berkarier cemerlang di zaman kreatif.

Zaman kreatif? Yup, itu lah zaman yang akan dihadapi anak-anak kita. Zaman dimana teknologi berkembang pesat, semakin terbatasnya sumber daya namun semakin beragamnya pilihan. Jika zaman orang tua mereka profesi yang mungkin diminati adalah menjadi dokter, guru, atau pilot. Nah, di zaman kreatif akan muncul berbagai pilihan karir baru yang memberi peluang kepada bakat dan minat seorang anak. Semisal anak yang berbakat di bidang seni, dengan segala kemajuan teknologi maka potensi yang ia miliki mempunyai banyak wadah untuk ditumbuhkembangkan. Menukil kalimat di sampul belakang buku, “Kemampuan anak untuk berkreasi sesuai bakatnya akan semakin menentukan perannya di zaman kreatif.”

Apa sih bakat itu? Bukankah bakat adalah takdir? Kalau takdirnya nggak bisa nulis ya nggak bisa jadi penulis, begitu? 🙂
Nah, kalau Anda memiliki anggapan seperti itu, buku ini layak dibaca.

Buku Bakat Bukan Takdir menolak anggapan klasik yang menyatakan bahwa bakat adalah bawaan lahir. Bahwa bakat adalah takdir.

Bakat bukanlah potensi melainkan suatu tindakan nyata. Bakat bukan sekadar sesuatu yang dibawa sejak lahir, tapi pengembangan potensi anak hingga menjadi tindakan nyata atau suatu karya yang bermanfaat.
Kecerdasan aksara adalah potensi. Menulis buku adalah bakat. Menulis skenario film adalah bakat.
Kecerdasan sosial adalah potensi. Menjual barang adalah bakat. Meyakinkan orang adalah bakat. (halaman 21)

Jadi, bakat adalah hasil belajar yang berkelanjutan pada suatu bidang tertentu. Tanpa proses belajar, bakat tidak akan berkembang.

Hm, menarik, bukan? Saya sangat setuju sekali dengan kesimpulan di atas. Kenapa? Hehe, karena itu terjadi pada diri saya. Tanpa bimbingan dan kepercayaan orang tua terhadap saya, barangkali impian saya menerbitkan buku hanya sekedar di awang-awang :).

Oke, kembali ke topik semula. Apa itu kecerdasan aksara, kecerdasan sosial? Apa ada kecerdasan lainnya? Tentu, jangan khawatir, masih banyak. Dan setiap orang, percaya atau tidak, bisa memiliki banyak bakat loh, nggak hanya satu seperti yang diyakini orang selama ini. Seperti yang telah dipaparkan di atas, bakat adalah hasil belajar, maka pada dasarnya setiap orang bisa punya lebih dari satu bakat, tergantung kesesuaian potensi diri dan kesempatan di masyarakat.

Adalah seorang tokoh pendidikan bernama Howard Gardner, pencetus pemikiran mengenai kecerdasan majemuk. Kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan suatu masalah, menciptakan suatu produk yang bernilai dalam suatu budaya. Gardner membagi kecerdasan menjadi delapan bagian, yaitu: kecerdasan aksara (Bahasa), kecerdasan logika (Matematika), kecerdasan musik (Musikal), kecerdasan kinestetik (tubuh), kecerdasan alam (Naturalis), kecerdasan visual dan spasial, kecerdasan interpesonal dan kecerdasan intrapersonal. Atau dalam buku ini masing-masing kecerdasan di atas diberikan penamaan sebagai berikut: Katanya (kecerdasan aksara), Anka (kecerdasan logika), Rada (kecerdasan musik), Geradi (kecerdasan kinestetik), Alata (kecerdasan alam), Akso (kecerdasan relasi atau interpersonal), Sivisi (kecerdasan visual dan spasial) serta Krevi (kecerdasan diri atau intrapersonal).

Gardner menyatakan bahwa setiap anak memiliki semua komponen kecerdasan. Yang mana yang dominan barangkali kembali kepada pemahaman di atas bahwa sekali lagi, bakat adalah proses belajar berkelanjutan.

Lalu, bagaimana menumbuhkan potensi ini? Sejak dahulu kita percaya bahwa pendidikan menanamkan adalah solusi terbaik untuk mencetak anak-anak yang cemerlang. Eh, begitu? 🙂
Pendidikan menanamkan bahkan dikritik oleh Bapak Pendidikan kita, KI Hajar Dewantara. Menurut Beliau, agar anak-anak dapat menghadapi tantangan di masa depan maka sebaiknya pendidikan menanamkan ditinggalkan dan beralih lah kepada pendidikan menumbuhkan.

Loh, apa itu pendidikan menanamkan dan apa pula menumbuhkan?
Bagi pendidikan menanamkan, anak diibaratkan kertas kosong. Maka orang dewasa merasa berhak memberi lukisan di atas kertas kosong tersebut. Anak menjadi objek dan orang dewasa sebagai subjek. Berbeda dengan pendidikan menumbuhkan. Pendidikan menumbuhkan percaya bahwa anak bukanlah kertas kosong. Mereka memiliki pikirannya sendiri. Anak pun dapat bertanggungjawab terhadap dirinya. Bagaimana? Pertanyaan yang bagus nih.. hehe, karena sebaiknya Anda membaca dan menuntaskan buku ini serta mengikuti berbagai latihan yang diberikan di dalam buku. Ada juga latihan yang bisa dikerjakan bersama putra-putri Anda.

Siap untuk menjadi pendidik yang menumbuhkan? Pasti bisa. Zaman berubah maka bekali agar anak kita tidak hanya sekadar bisa memperoleh pekerjaan dan penghasilan tetapi juga bisa merasakan kepuasan dari gaya hidup sebuah profesi yang elegan. Profesi yang mereka cintai sehingga bisa memberikan kebermanfaatan bagi diri dan sesama. Tidak hanya karir yang cemerlang tetapi yang terpenting bekali mereka agar menjadi manusia yang mandiri dan mampu menghadapi perubahan zaman.

Untuk Pak Bukik, terima kasih untuk bukunya yang menarik. Saya suka bacanya 🙂

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.