dokumentasi dari sini.
“Tan, merancangkan Republik sebelum kemerdekaannya tercapai.”
Kalimat di atas adalah kutipan dari buku Tan Malaka, Bapak republik yang Dilupakan. Diterbitkan oleh KPG dan merupakan satu dari 4 seri buku Tempo: Bapak Bangsa, yang terdiri dari: Sukarno, Hatta, dan Sjahrir.
Buku ini bercerita tentang sosok seorang Tan Malaka. Seorang yang radikal, seorang marxis tapi sekaligus Nasionalis. Tan hanya mempunyai satu cita-cita dalam perjuangannya yaitu menutup buku kolonialisme selamanya dari bumi Indonesia.
Ada sebuah kisah tentang pengalaman Tan ketika menjadi juru tulis di Bayah. Suatu saat Tan diminta untuk mengurusi data pekerja romusha. Tan mencatat bahwa 400-500 romusha meninggal setiap bulannya. Selain ancaman penyakit, para pekerja juga tidak mendapatkan kesejahteraan yang layak. Tan kemudian mengajak para pemuda untuk memperbaiki nasib romusha. Dia mendirikan dapur umum untuk menyediakan makanan bagi romusha, membangun rumah sakit dan membuka kebun sayur dan buah.
Tan dikenal baik dan murah hati oleh para romusha. Dalam bukunya yang berjudul Madilog, Tan juga bercerita tentang kesengsaraan para penduduk di bawah militerisme jepang.
Keberpihakan Tan pada proletariat juga tampak pada saat ia menjadi asisten pengawas sekolah di Deli. Pada saat rapat besar tuan besar perkebunan Tan memaparkan gagasan mengenai pentingnya pendidikan bagi para anak kuli. Menurut Tan, tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkokoh kemauan, serta memperhalus perasaan. Walaupun menurut para tuan besar, sekolah bagi anak kuli itu hanya membuang-buang uang. Mereka beranggapan, sekolah bakal membuat anak kuli itu lebih brutal dari perilaku ayah mereka. Namun Tan membela dengan mengatakan ‘Anak kuli adalah anak manusia juga.’
Pengalaman Tan kemudian bergaul dengan kaum proletar memantapkan dirinya untuk bergerak di sektor pendidikan. Tan melihat bahwa para kuli itu sering terjerat berbagai peraturan kontrak yang tak mereka pahami oleh karena mereka buta huruf. Mereka terkungkung oleh kebodohan, kegelapan, kekolotan pemikiran sekaligus tergelincir dalam nafsu permainan judi.
Tan melihat perlunya pendidikan kerakyatan untuk menghadapi kekuasaan para pemilik modal yang berdiri atas pendidikan yang berdasarkan kemodalan. Menurut Tan “kemerdekaan rakyat hanya bisa diperoleh dengan pendidikan kerakyatan.”
Maka kemudian Tan mendirikan sekolah yang basis kurikulumnya berdasar pada:
1. Perlunya pendidikan ketrampilan dan ilmu pengetahuan, sebagai bekal untuk menghadapi kaum pemilik modal.
2. Pendidikan bergaul atau berorganisasi dan berdemokrasi. Ini dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri. harga diri, dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.
Menurut Tan, sekolah yang ia dirikan bukan ditujukan untuk mencetak juru tulis seperti tujuan sekolah pemerintah. Selain dapat menafkahi dirinya sendiri diharapkan sekolah ini juga dapat membantu rakyat dalam pergerakannya.
Ide sekolah rakyat ini berasal dari Belanda dan Rusia. Tan Malaka terinspirasi ketika membaca tulisan warga Rusia mengenai kurikulum sekolah komunis. Namun Tan menyesuaikan pengetahuan yang ia dapat dengan kondisi di Indonesia.
Perjuangannya yang tak kenal lelah untuk mewujudkan kemerdekaan begitu menggebu-gebu. Seperti diungkapkannya dalam seruan kepada kaum terpelajar Indonesia.
“Kepada kamu intelek kita seruhkan…Tak terdengarkah olehmu, teriakan massa Indonesia untuk kemerdekaan yang senantiasa menjadi semakin keras?”
Sumber: Tan Malaka, KPG