Judul: Kalatidha
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Kalatidha adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa karangan Raden Ngabehi Rangga Warsita berbentuk tembang macapat.
Kalatidha, artinya adalah zaman gila atau zaman edan seperti ditulis oleh Rangga Warsita. Konon Rangga Warsita menulis syair ini ketika pangkatnya tidak dinaikkan seperti diharapkan. Lalu ia menggeneralisir keadaan ini dan ia anggap secara umum bahwa zaman di mana ia hidup merupakan zaman gila di mana terjadi krisis. (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Serat_Kalatidha)
Bercerita tentang seorang pembobol bank yang masuk penjara. Di dalam sel ia merekam kembali ingatan ke masa lalunya bersama kliping koran dari tahun 1965 milik kakaknya yang berhasil ia selundupkan. Sebuah peristiwa sejarah G30S/PKI, menjadi latar cerita dari novel Kalatidha ini. Sejarah yang menyisakan luka bagi para korban dan keluarganya.
Adalah seorang gadis yang keluarganya dihabisi di depan kepalanya sendiri. Rumah mereka dibakar massa. Ia berhasil selamat walaupun menjadi gila. Gadis ini kemudian membalas dendam. Namun dalam kegilaannya masih saja ia diperlakukan kejam oleh orang-orang disekelilingnya.
Zaman edan, sebutan yang tepat untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang sakit. Di mana kebencian menghilangkan akal sehat, luka dan sakit hati meluapkan amarah dan dendam yang tak berperikemanusiaan.
Novel Seno Gumira yang ini memang berbeda dari novel-novel dia sebelumnya. Agak rumit dan alurnya meloncat-loncat. Tapi saya suka cara Seno memaparkan cerita tentang kabut, hutan bambu, dan cahaya. Khas Seno, puitis dan penuh makna.
“Pada mulanya memang kabut, masih, dan akan selalu kabut dan sebaiknya memang tetap saja kabut, yang kekelabuannya tiada pernah dan tiada perlu memberikan sesuatu yang jelas. Apalagi yang menarik dari hidup ini jika segala sesuatu sudah begitu jelas dan begitu pasti? Aku adalah anak kabut,dilahirkan oleh kabut, hidup di dalam kabut, dan hanya bisa hidup dalam dunia berkabut, karena hanya di dalam kabut aku bisa menjadi pengembara di dalam dunia yang kuciptakan sendiri. Hanya kabut, demi kabut, dan atas nama kabut kupertaruhkan hidup dan matiku, pahit dan manisku, suka dan dukaku, kebahagiaan dan kepahitanku, kehidupan dan kematianku dalam segala kemungkinan yang telah diciptakan Tuhan untuk dijelajahi olehku. kabut adalah duniaku-Dalam kabut itulah aku mengembara dan menjelajahi seribusatu kemungkinanku.”
Hehehe. Sungguh menggambarkan kondisi Indonesia saat ini. Zaman edan!! 🙂 🙂
bener bner zaman edan
benar benar zaman edan