Judul asli: The Outsider, Sang Pemberontak
Penulis: Albert Camus
Penerbit: Liris
Camus, si pengarang The Outsider adalah filsuf yang mengenalkan filsafat absurditas. Absurdisme sendiri adalah paham atau aliran yang didasarkan pada kepercayaan bahwa manusia secara umum tidak berarti dan tidak masuk akal (absurd). Kesadaran para pengikut aliran itu terhadap tata tertib sering berbenturan dengan kepentingan masyarakat umum. (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Absurdisme)
Novel sastra ini bercerita tentang seorang laki-laki, Mersault yang rela mati demi kebenaran. Mersault dikenal sebagai orang yang pendiam, baik dan mengasihi orang yang membutuhkan pertolongan. Awal cerita bermula dari kematian ibunda Mersault yang dititipkan di panti wreda. Pada saat mengunjungi jenasah sebelum proses pemakaman, Mersault tidak menunjukkan ekspresi seorang anak yang kehilangan Ibu. Reaksi yang dimunculkan Mersault mengundang gugatan dan pertanyaan.
Sehari setelah kematian Ibunya, laki-laki ini pergi berenang dan bertemu dengan wanita yang kemudian menjadi kekasihnya. Dan mereka pergi nonton film komedi malam harinya.
Mersault kemudian juga berkenalan dengan tetangganya yang bernama Raymond. Raymond menghidupi dirinya dari para wanita. Raymond menyebutnya sebagai ‘Penjaga Gudang.’ Ada juga seorang tua dengan anjingnya.
Suatu saat Raymond bermasalah dengan seorang perempuan. Mersault membantu Raymond. Raymond bebas namun kakak dan teman gadis ini tampaknya tak suka.
Pada suatu hari, Raymond mengajak Mersault dan kekasihnya berlibur ke pantai, di rumah sahabat Raymond. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan para lelaki teman wanita Raymond. Mereka sampai di rumah sahabat Raymond. Ketika Raymond, Mersault dan sahabatnya ini tengah berjalan-jalan di pantai, para lelaki musuh Raymond muncul. Pertikaian pertama menyebabkan luka di wajah sahabat Raymond. Perkelahian usai.
Menit berikutnya Mersault sedang menyusuri pantai ketika ia melihat salah satu musuhnya berbaring di pantai. Mersault meneruskan berjalan tapi kemudian sebuah benda tajam menyentuh pelipisnya. Rasa asin dan bau darah menerpa penciumannya. Dalam siraman cahaya matahari yang menyilaukan dan luka yang dialiri bulir-bulir air berwarna merah sehingga mengaburkan pandangannya, Mersault mengeluarkan senapan yang dipinjamkan sahabat Raymond. Dilepaskannya tembakan sebanyak empat kali.
Akibat tindakan itu Mersault menjadi tawanan dalam penjara. Ia kemudian di hukum mati. Namun Mersault dihukum bukan karena tindakan pembunuhan itu melainkan oleh karena alasan norma dan ketentuan moral etika dalam menanggapi kematian ibunya.
Mersault dalam perenungannya tak habis mengerti mengapa bukti bersalah yang memberatkan hukumannya adalah berkaitan dengan sifat-sifat dalam dirinya. Para hakim, jaksa mempertanyakan perilakunya yang tidak menangisi kematian Ibunya. Mereka beranggapan Mersault adalah monster yang harus dibasmi.
“Kujelaskan bahwa keadilan itulah yang memvonisku hukuman mati. Pendeta bilang, hukuman itu tak menghapuskan dosaku sama sekali. Kubilang aku tak tahu apa dosaku. Aku hanya diputuskan bersalah. Aku bersalah dan harus membayarnya. Jadi, tak ada lagi yang bisa diminta dariku.”
“Aku mungkin dungu tapi aku yakin atas diri sendiri, yakin akan semuanya, yakin atas hidupku dan kematian yang mendatangiku. Ya, itulah yang kumiliki. Tapi setidaknya itu kebenaran yang kupegang sebagaimana kebenaran itu memegangku. Aku telah hidup dengan cara tertentu, aku juga bisa hidup baik dengan cara lain. Telah kulakukan ini dan tak kulakukan itu. Aku tak melakukan satu hal, sebaliknya kulakukan yang lainnya. Lantas kenapa?”
Bagi Mersault, hidup bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan hanya supaya jangan mati. Hidup akan berharga jika ia mempunyai makna. Karena itu walaupun Mersault tahu bahwa kematian membayanginya, ia memilih untuk menghadapinya dengan tegar.
“Don’t walk in front of me; I may not follow. Don’t walk behind me; I may not lead. Just walk beside me and be my friend.” – Albert Camus
buku yang bagus bagi penyuka novel filsafat. kunjungi balik blog kami ya bro. thanks.