Judul Asli: By The River Piedra I Sat Down and Wept
Penulis: Paulo Coelho
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 222
“Cinta adalah perangkap. Ketika ia muncul, kita hanya melihat cahayanya, bukan sisi gelapnya.”
Berkisah tentang dua sahabat, pria dan wanita. Mereka tumbuh dan tinggal di sebuah kota kecil, Soria, di Spanyol. Si lelaki kemudian memutuskan untuk melihat dunia, sementara yang perempuan memilih Zaragosa sebagai tempatnya untuk meneruskan sekolah. Sesekali mereka kerap berkirim surat.
Suatu ketika, si pria mengundang Pilar -nama si wanita- untuk menghadiri pertemuan, di mana si lelaki akan memberikan ceramah. Sahabat masa kecilnya ini ternyata adalah seorang pemimpin spiritual. Dalam sebuah kesempatan, yang telah lama dinanti dan diangankan, si lelaki menyatakan perasaan cintanya kepada si perempuan. Cinta yang tumbuh sejak mereka kanak-kanak. Pilar bukannya tidak mengetahui, sesungguhnya ia pun mencintai lelaki ini.
Namun Pilar mencoba mengelak. Dunia lelaki ini berbeda dengan dirinya. Pilar adalah perempuan yang takut menghadapi hal-hal tak terduga. Ia menginginkan kehidupan yang aman dan biasa.
“Kau harus mengambil resiko, ia berkata. Kita hanya dapat memahami keajaiban hidup sepenuhnya jika kita mengizinkan hal-hal tak terduga untuk terjadi.”
Cinta yang tumbuh perlahan mengubah pandangan Pilar atas pilihan hidup. Namun ketakutan itu masih membayanginya.
“Namun cinta itu mirip bendungan: jika kau membiarkan satu celah kecil yang hanya bisa dirembesi sepercik air, percikan itu akan segera meruntuhkan seluruh bendenungan, dan tak lama kemudian tak seorang pun bisa mengendalikan kekuatan arusnya. Setelah bendungan itu runtuh, cinta pun mengambil kendali, dan apa yang mungkin ataupun tidak, tak lagi berarti; bahkan bukan masalah apakah orang yang kita cintai itu tetap di sisi kita atau tidak. mencintai berarti kehilangan kendali.”
Pilar berkeras tak membiarkan celah itu ada. Pertarungan antara logika dengan kekuatan cinta menjadi renungan yang menarik, yang disajikan dalam buku ini. Tidak hanya Pilar, si lelaki pun sebenarnya menghadapi dilema yang sama. Memilih hidup normal dengan wanita yang ia cintai atau kehidupan religius-nya.
Di tepi sungai Piedra, keduanya akan memutuskan jalan hidup mereka selanjutnya.
**
Cinta tidak pernah membuat kita menderita, karena seperti Coelho bilang “..dalam setiap cinta ada benih pertumbuhan diri. Semakin kita mencinta, semakin kita dekat pada pengalaman spiritual.”
“… pengalaman spiritual sesungguhnya adalah pengalaman praktis dari cinta. Dan cinta tidak mengenal peraturan.”
“Cinta sejati adalah penyerahan diri seutuhnya. Mencintai adalah melebur dengan orang yang kita cintai dan menemukan percikan Tuhan di dalam dirinya.”
thanx atas resensi nya…lumayan bisa bwt penuhin tugas skull
@Septi: Lebih bagus lagi kalau baca bukunya. Ini hanya resensi dan nilai yang kita tangkap akan berbeda pada sudut pandang setiap individu 🙂