Judul: Tiada Ojek di Paris
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Mizan
Tebal: 207
Jakarta, Rembulan, dan Keterasingan
Bulan telah pingsan
di atas Kota Jakarta
tapi tak seorang menatapnya!
Bulan telah pingsan
Mama, bulan telah pingsan
Menusuk tikaman beracun
dari lampu-lampu Kota Jakarta
dan gedung-gedung tak berdarah
berpaling dari bundanya
Siapa yang terasingkan dari Jakarta? Bahkan bulan pun merasa tak seorang menatapnya. Begitulah personifikasi rembulan yang merupakan identifikasi diri dari manusia yang merasa terasing di Kota Jakarta.
Keterasingan atau alienasi adalah wacana yang tumbuh bersama lahirnya sebuah kota, tempat manusia tak dihubungkan oleh kesatuan adat, apalagi darah, seperti dalam masyarakat tradisional dalam pola kekerabatan di kampung, melainkan oleh kesatuan kepentingan. Orang datang ke Jakarta untuk menyambung dan mempertahankan hidup, dalam arti kiasan atau sebenarnya, bukan karena cinta kepada Jakarta. Kepentingan survival ini membuat orang Jakarta berkompetisi. Keakraban mengalami reduksi. Maka manusia pun hidup dalam keterasingan.
Namun, keterasingan bukanlah akhir dunia. Seterasing-asingnya, mereka yang tinggal di Jakarta selalu mempunyai perasaan mesra tentang kotanya. Keterasingan selalu bertimbal balik dengan kerinduan. (hal 35-36)
Ulasan:
Siapa tak kenal Seno? Tulisan-tulisannya selalu bernas. Tiada Ojek di Paris adalah kumpulan esai Seno tentang masyarakat urban dan kota metropolitan. Esai ini terdiri dari 44 cerita pendek yang dapat dibaca secara terpisah.
Buku ini berisi pengamatan Seno tentang masyarakat urban. Jakarta adalah kota yang dipilih Seno sebagai latar belakang kisah-kisah di dalam buku ini. Kota yang terus bertumbuh dan menuntut semua elemen di dalamnya untuk ikut bergerak gegas dan cepat. Kehidupan urban menjadi simbol perkembangan sebuah kota. Mobilitas kaum urban dikenal sangat tinggi dikarenakan beragamnya kegiatan yang mereka ikuti. Tak ketinggalan gaya hidup yang menjadi identitas kaum urban yang dapat menentukan strata sosial mereka di masyarakat.
Barangkali kita akan merasa sedikit tertohok, atau bahkan tertawa dan kemudian mengernyitkan kening ketika membaca kumpulan esai yang bercerita tentang berbagai polah kaum urban. Sadar atau tidak kita seringkali tertipu dan terkungkung oleh kehidupan yang kita sebut dengan modern itu.