Judul: Aku Bisa!
Penulis: Tim Noura Books dan Taman Gagasan Anak
Penerbit: Noura Books PT Mizan Publika
Tahun terbit: September, 2015
Tebal: 165
“Terkadang untuk mengatasi suatu masalah – sebesar apapun itu – kita hanya memerlukan dua hal: kepekaan dan kepedulian sebagai modal awal untuk menciptakan sebuah solusi.”
Kepekaan dan kepedulian akan segala hal yang terjadi disekeliling kita akan melahirkan kreativitas untuk menciptakan beragam solusi dari permasalahan yang ada. Sayangnya, kepekaan dan kepedulian masyarakat kita semakin tumpul. Pemandangan ketidakpedulian dan ketakacuhan dapat ditemui dimana-mana. Ketika kemampuan untuk peka dan peduli ini sudah tidak ada sejak dini, maka jangan heran ketika menjadi dewasa mereka akan sulit untuk berpikir kreatif karena tidak merasakan tantangan. Mereka menjadi kurang terhubung dengan dunia sekitar. Mereka kurang memiliki empati.
Pendidikan Indonesia yang cenderung melihat sisi lemah anak juga ditengarai sebagai penyebab terpenjaranya kreativitas anak. Anak-anak didikte, diawasi, lalu dihukum jika salah. Anak dianggap sebagai sosok tak berdaya. Akibatnya, anak menjadi takut salah dan merasa tidak bisa. Selain itu, materi yang diajarkan di sekolah kurang memiliki keterkaitan dengan kebutuhan di masyarakat. Anak diberi pengetahuan (knowledge) hanya untuk menghadapi ujian. Anak kurang diberi kesempatan untuk menemukan solusi dan membuat keputusan. Padahal inilah yang sesungguhnya dibutuhkan tidak hanya oleh anak namun juga orang dewasa.
Gerakan Design for change yang digagas oleh Ibu Kiran Bir Sethi bertujuan agar anak dapat memupuk keberdayaannya, dan ini menjadi bekal dalam perjalanannya menjadi insan merdeka. Design for change terinspirasi dari pendekatan design thinking. Design thinking pada dasarnya adalah sebuah pola pikir yang membuat kita percaya bahwa kita dapat membuat suatu perubahan. Design thinking terdiri dari beberapa tahapan yang dilakukan untuk mendapatkan solusi baru dan relevan sekaligus bisa menciptakan dampak positif. Design thiking juga memberikan kita keyakinan untuk melakukan proses kreativitas dan melalui tahapannya dapat mengubah tantangan yang sulit menjadi sebuah peluang.
Awalnya design thinking dirancang untuk memecahkan beragam masalah yang ada di dunia bisnis. Melalui design thinking, perusahaan dapat menciptakan produk ataupun jasa yang lebih inovatif dan tepat guna karena berawal dari proses komunikasi yang mendalam akan kebutuhan sang penggguna. Penggunaan metode design thinking tidak hanya diterapkan pada dunia usaha, namun sekarang ini sudah berkembang luas ke ranah sosial dan pendidikan. Design thinking disarankan untuk diterapkan di sekolah-sekolah untuk menyelesaikan beragam masalah, mulai dari mendesain ulang ruang siswa, membantu pendidik mengembangkan rencana pengajaran yang lebih kreatif sampai meningkatkan keterampilan siswa.
Kiran Bir Sethi kemudian mengadopsi metode design thinking yang disederhanakannya dan diturunkan menjadi sub metodologi Design for change (DFC). Tahapan design thinking direlokasi sehingga dapat dijalankan oleh anak-anak usia sekolah. Empat tahapan tersebut adalah: Feel (merasakan), Imagine (membayangkan), Do (melakukan), dan Share (membagikan) atau disingkat FIDS. Melalui keempat tahap ini anak berlatih untuk dapat memiliki kecakapan kerja, keterampilan abad 21, dan kecakapan sosial serta emosional yang dapat mempersiapkan para siswa untuk hidup bermasyarakat.
Salah satu aplikasi Design for Change berikut ini dilakukan oleh anak-anak berusia 5 tahun di Kamerun, Afrika.
Suatu hari, beberapa anak di sekolah Afrika mendatangi Ibu Guru dan menyampaikan kekhawatiran mereka karena beberapa anak di sekolah itu bermain sepak bola dengan menendangi botol plastik bekas minuman. Mereka merasa bahwa permainan itu berbahaya karena botol plastik itu dapat mencederai mata anak. Setelah mendengar keluhan tersebut, Ibu Guru mengajak mendiskusikannya. Dalam diskusi, ada anak yang mengusulkan agar sekolah membuat larangan permainan sepak bola. Ada juga yang mengusulkan larangan membawa botol plastik. Setelah mendiskusikan berbagai usulan mereka sampai pada pemahaman bahwa percuma jika sekolah membuat larangan. Larangan tak menyelesaikan masalah, kata anak-anak itu. (FEEL)
Akhirnya, disepakati bahwa permasalahan ini perlu diselesaikan pada akar masalahnya, yaitu tidak tersedianya bola. Oleh karena itu mereka mengangankan dan berpikir untuk membuat bola. (IMAGINE)
Maka, mereka meminta Ibu Guru mendampingi untuk membuat bola, karena mereka tidak tahu caranya. Ibu Guru kemudian menyarankan agar anak-anak merancang penelitian tentang bahan apa yang cocok untuk emmbuat bola. Kemudian, mereka mencari beberapa bahan bekas untuk dicoba. Dalam penelitian, tiap bola dengan berbagai bahan berbeda diuji coba. Sampai akhirnya mereka menyimpulkan bahwa bola berbahan tas plastik bekas (kita di Indonesia menyebutnya dengan tas kresek 🙂 ) paling cocok, karena dapat memantul dengan baik. Dibantu oleh orang tua, anak-anak lalu mengumpulkan tas plastik bekas di rumah dan membawanya ke sekolah. Di sana, mereka belajar bersama gurunya membuat bola. (DO)
Sekarang, mereka senang, karena anak-anak tetap dapat bermain sepak bola tanpa khawatir lagi. Setelah itu, dengan bantuan Ibu Guru, anak-anak Kamerun ini membuat video tentang kisah keberhasilannya dan diunggah ke kanal Youtube. (SHARE)
Dari pengalaman di atas, anak-anak Kamerun telah menerapkan 4 langkah design of change. Mereka telah menggagas dunia dari lingkungannya. Di sini, anak merasakan sebagai manusia terhormat yang berhak menggagas dan bisa bernalar. Anak-anak di atas telah mengasah dan mempraktikkan keterampilan abad ke-21, seperti merumuskan masalah, berpikir kreatif dan kritis, dan berkomuniaksi. Perasaan percaya diri anak sekaligus keterampilannya bernalar ini mewabahkan virus keyakinan “Aku Bisa” ke berbagai pelosok dunia.
Dahsyat sekali pendekatan design of change ini ya? Kalau berbagai negara sudah menerapkan metode ini mengapa kita tidak? Saya yakin metode ini bisa diterapkan ke dalam berbagai mata pelajaran.
Design for change adalah salah satu metode yang dapat melatih empati anak-anak kita sejak dini. Sejalan dengan cita-cita Indonesia yaitu mencetak generasi emas, melahirkan generasi cemerlang yang mampu bersaing secara global. Jalan menuju ke sana adalah dengan menerapkan pendidikan karakter kepada generasi muda. Pendidikan karakter yang juga menjadi perhatian dalam kurikulum 2013 yang mengedepankan 4C (Creative, Critical Thinking, Collaboration, dan Communication) yang semuanya ada dalam pendekatan design for change.
Kepada generasi muda lah kelak kita berharap agar dapat menjadi perintis perubahan dalam membentuk kehidupan dan peradaban bangsa yang lebih baik, generasi yang bermodalkan kecerdasan komprehensif, yakni produktif, inovatif, interaksi sosial yang baik, dan berperadaban unggul.