Judul: Ibu, Pergi ke Surga
Penulis: Sitor Situmorang
Cetakan: pertama, Januari 2011
Penerbit: Komunitas Bambu
Tebal: 218
Buku berisi kumpulan cerita Sitor, dengan “Ibu, Pergi ke Surga” sebagai judul pilihan. Ibu, yang menderita sakit paru-paru sejak lama, tinggal berdua dengan Bapak di kampung. Dua anaknya merantau. Pada hari menjelang kematiannya, ia mengirim telegram meminta anaknya datang. Si tokoh datang sendiri, tanpa istri dan anaknya. Si kakek belum pernah sekalipun melihat cucunya. Anak satunya tak lagi diketahui rimbanya.
Bapak adalah seorang yang percaya pada takhyul, sebaliknya Ibu adalah penganut kristen yang taat. Ketika itu natal sudah dekat, pendeta mengusulkan agar jemaat merayakan natal di rumah Ibu. Si tokoh sedikit keberatan untuk sebuah alasan yang tak dapat ia katakan, namun ia tak dapat menolak. Sebelum itu, sudah beberapa kali orang berhari Minggu di rumah mereka. Si tokoh merasa seolah-olah itu adalah upacara kematian. Pendeta bertanya kepadanya tentang mengapa ia tak ke gereja beberapa bulan lalu ketika ia datang berkunjung ke desa itu. Si tokoh mengalihkan pertanyaan tersebut, pun ketika pendeta memintanya untuk membaca injil di malam natal nanti. Si tokoh tak setuju tapi ia diam. Pendeta menganggap itu sebagai tanda setuju.
Di malam natal, sebelum tamu-tamu berdatangan, si tokoh masih mendengar suara batuk Ibu. Kemudian untuk beberapa lama suasana sunyi. Si tokoh menengok, memperhatikan Ibu yang sedang terbaring. Diperhatikannya wajah Ibu yang tirus, dan dada yang tak lagi bergerak. Ibu telah meninggal. Si tokoh merasakan perasaan syukur yang ganjil, yang tak memberi kesempatan pada haru yang menyumbat kerongkongannya. Tak ada orang yang tahu, pun Bapak yang ada di dekatnya. Tak ada yang menyadari kematian Ibu, pun ketika tamu-tamu berdatangan dan upacara dimulai. Pendeta dan semua orang mengira Ibu tertidur, mereka tak ada yang ingin mengganggunya. Ketika tamu pulang barulah si tokoh memberitahu Bapak.
Pendeta datang, katanya “Kudengar Tuan besok pergi. Mudah-mudahan selamat saja di perjalanan!”
“…. saya tahu Tuan juga percaya, walaupun orang terpelajar tidak lagi suka datang ke gereja. Saya selalu yakin Tuan berpegang pada kristus,” kata pendeta seperti pada dirinya sendiri. …. Mana bisa manusia tak ber-Tuhan! Mana mungkin tak ada surga!” katanya dengan pandang seakan-akan kambing menghadap batu.
Si tokoh pergi menuju pohon natal yang sudah kering terbengkalai di pekarangan. Dengan api sebuah korek, dibakarnya pohon itu sehingga menjadi unggun.
Dalam cerita Ibu, Pergi ke Surga, Sitor memberikan penghayatan kepada pembacanya perasaan terharu bahagia. Kisah ini tidak sekedar tentang kematian Ibu, tapi mengutip sinopsis buku, yaitu: “Membacanya memperoleh nilai tambah pengetahuan latar belakang konflik yang tumbuh dalam keluarga Batak antara kekristenan dan penganutan adat yang sebaiknya dilenyapkan. Meminjam ungkapan Hary Aveling, dalam cerita ini terdapat suatu jalinan kompleks tentang sikap moral di sekitar tema kematian, sikap positif mereka yang tinggal di sebuah kampung di pegunungan, dan sikap nihilistik “aku”.”
Cerita-cerita dalam karya Sitor sarat dengan pengetahuan latar belakang kebudayaan, terutama Batak, ajaran eksistensialisme seperti tampak pada Ibu, Pergi ke Surga serta filsafat.
Selain bahasanya yang puitis, kisah-kisah dalam buku ini dapat menambah kekayaan bathin pembacanya melalui pengalaman para tokoh-tokohnya.