Akar Pule


Judul: Akar Pule
Penulis: Oka Rusmini
Penerbit: Grasindo. Pt Gramedia Widiasarana Indonesia.
Tebal: 145

“Pada akhirnya aku percaya, aku sendiri yang harus bertanggung jawab atas hidupku.”

Saring adalah seorang wanita yang meninggalkan kampung halamannya demi menghindari kesialan yang menimpa desa itu. Kisah Ayah dan Ibunya adalah legenda yang tiada habis dibicarakan. Setiap bencana dan musibah yang terjadi selalu dikaitkan warga dengan riwayat Kondra, Ayah Saring. Kepergian Saring dari desa diyakini sebagai sebuah keputusan terbaik, karena tidak akan ada lagi darah kesialan yang mengobrak-abrik desa itu.

Akar Pule adalah buku kumpulan cerita pendek yang berisi 10 kisah. Kesemuanya mengenai perempuan. Oka Rusmini, sastrawati Bali ini dikenal sebagai penulis yang karya-karyanya banyak mengupas mengenai keberadaan perempuan serta pendobrak kekakuan adat (dari sini).

Dalam kisah Pastu melalui tokoh Cenana, Oka menanyakan arti cinta dan kebahagiaan. Cok Ratih, sahabat yang disayanginya rela meninggalkan kebangsawanannya dan memutuskan hubungan baik dengan keluarga besarnya untuk menikah dengan lelaki yang tidak sederajat. Namun pengorbanan besar yang diberikan Cok Ratih atas nama cinta tidak mendapatkan balasan yang seimbang. Sahabatnya itu mati bunuh diri sementara suaminya entah di mana. Desa adat memberinya sanksi, mayatnya tak boleh diaben karena menurut konsep agama, Cok Ratih mati dengan cara yang salah, mati bunuh diri.
“Apakah Tuhan tahu? Apa alasannya sahabatku yang riang dan bersemangat itu menjerat leher dan mengiris nadinya? Apakah Tuhan mau mengerti dan menerima alasannya?”

“Katanya, kehidupan perempuan baru disebut sempurna jika sudah kawin. Perkawinan membuat perempuan sadar arti menjadi istri, juga arti menjadi Ibu. Tapi kalau nyatanya kawin malah bikin susah dan rumit, apakah perkawinan masih bisa dijadikan alasan bahwa pohon kebahagiaan itu hanya bisa ditemukan di dalam rumah perkawinan?” (halaman 93)

Dalam Sawa, penulis mengisahkan pertentangan bathin yang dialami oleh seorang wanita bernama Ni Luh Putu Pudakwangi. Di usianya yang ketiga puluh lima tahun dan di tengah kegamangan rumah perkawinannya ia bertemu dengan seorang lelaki yang mencintainya. Pudak berada di dalam kebimbangan, di antara perasaan bersalah dan keinginan untuk menyambut cinta yang ditawarkan lelaki itu.
“Salahkah cinta yang datang selarut ini?” (halaman 84)

“Mencintai itu bukan dosa. Sebuah pertemuan adalah hal biasa. Jadi tidak biasa ketika pertemuan itu meninggalkan luka.” (halaman 76)

Oka juga menggugat perlakuan masyarakat serta ketidakadilan hukum terhadap pemerkosa anak-anak, seperti ada dalam kisah Bunga.
Bunga, gadis kecil cantik berumur 7 tahun. Bunga suka menari. Ibu Bunga adalah pelacur dan Ayahnya tidak diketahui keberadaannya. Bunga berteman dengan tiga laki-laki, salah satunya Gus Putu yang berusia 10 tahun. Ibu Gus Putu tidak menyukai jika putranya bermain dengan Bunga. Suatu ketika Bunga ditemukan mati terapung di sungai. Vagina gadis kecil itu sobek dan terus mengeluarkan darah.

“…Dia memang terkutuk. Makanya mati pun dia tetap terkutuk!” Perempuan itu menggeram penuh dendam.” (halaman 121)

Pelaku pemerkosa Bunga, sejumlah laki-laki dewasa dihukum hanya 5 tahun penjara. Bisa jadi pelaku pemerkosa itu hanya meringkuk 2 tahun atau 3 tahun jika ada potongan hukum penjara.

“Gus Putu meringsut, tak ada perempuan yang berdemo untuk membuat keputusan: hukum mati para pemerkosa anak-anak!”.

Oka, penulis yang begitu jujur menyuarakan hati perempuan. Membaca tulisan Oka terkadang menimbulkan getir dan ngilu, sekaligus kelembutan yang samar pada sisi kewanitaan kita sebagai makhluk bernama perempuan.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.