Judul: Edward & Tuhan
Penulis: Milan Kundera dkk
Penerbit: Banana Publisher
Tebal: 201
Edward dan Tuhan adalah buku kumpulan cerpen 4 penulis klasik. Mereka adalah Milan Kundera, Alice Munro, Gabriel Garcia Marquez, dan Naoya Shiga. Semua kisah dalam buku ini begitu menarik. Salah satu cerita yang ingin saya tulis di sini adalah karya penulis Jepang, Naoya Shiga dengan cerita pendeknya yang berjudul Kuniko.
Tokoh dalam cerita ini adalah seorang penulis drama yang menikahi seorang wanita bernama Kuniko. Pernikahan mereka berjalan tenang dan damai. Suatu ketika si dramawan dikirimi surat oleh istri kakaknya. Ia diminta untuk membantu menyelesaikan perselingkuhan yang terjadi antara sang kakak dengan seorang gadis pelayan. Menanggapi ini si dramawan merasa tak layak untuk menasihati si kakak. Melalui putri kesayangan mereka, si dramawan kemudian berhasil melakukan hal terbaik yang bisa ia lakukan untuk keutuhan rumah tangga sang kakak. Selesai?
Tidak bagi si dramawan, karena permasalahan sang kakak akan menjadi pertanyaan bagi Kuniko. Ia tahu bahwa Kuniko akan bertanya apa yang terjadi. Dan itu berarti membuka luka lama, mengakui bahwa ia pun pernah melakukan hal yang sama.
“Walaupun tak ada kepentingan untuk menyembunyikan masalah ini, namun jika aku menyampaikan cerita ini, pada akhirnya aku pasti akan mengakui bahwa aku pernah melakukan hal yang sama. Hal itu menyakitkanku. Itu sudah masa lalu..(halaman 156)”
Kuniko memang terkejut mendengar kejujuran sang suami. Dalam obrolan mereka kemudian Kuniko meminta ketegasan sang suami untuk tidak lagi melakukan perbuatan itu. Walau sang suami mengakui bahwa apa yang ia lakukan bukanlah perbuatan yang terpuji dan tak termaafkan, namun suara hatinya menolak untuk berlebih menyalahkan dirinya.
“Tak ada keraguan bahwa hal itu buruk. Namun, nuraniku terlumpuhkan oleh kebiasaan itu.” (halaman 159)
Sang suami tidak bisa menyatakan janji yang diminta Kuniko.
Kuniko: “Jika kau tak mengatakannya, aku tak akan mendapatkan ketenangan.”
Suami: “Mungkin hal macam itu tak kan terjadi lagi. Aku berusaha sebaik mungkin untuk menghindar dari situasi macam itu.”
Pernyataan sang suami tidak menumbuhkan rasa percaya pada diri Kuniko. Walaupun sang suami bisa saja mengucapkan kalimat yang ingin didengar oleh Kuniko namun ia memutuskan untuk berkata jujur. Namun kejujuran itu melukai Kuniko.
“Tentu saja kebahagiaan itu sempurna karena dusta. Namun, hal itu adalah persoalan tentang sejauh mana seorang perempuan mampu menegakkan kebahagiannya di atas kebenaran…” (halaman 161).
Selanjutnya, Kuniko dibayang-bayangi oleh persoalan perselingkuhan yang pernah dilakukan suaminya. Sang suami yang merasa dicurigai terus menerus pun tak berdaya.
“Tapi, jika kau mencurigaiku seperti itu, aku tak dapat melakukan hal apa pun.” (halaman 164)
Si dramawan kehilangan hasrat menulis dan antusiasme nya terhadap profesi dan sekelilingnya perlahan memudar.
“..kapan saja aku berpikir untuk melakukan sedikit hal lebih dalam kehidupanku ini, kau tampaknya segera berpikir bahwa aku menuruti kata hatiku mengeluh dan bahwa aku ingin lebih menikmati diriku sendiri dengan bermacam kesenangan lainnya. Apa yang kau pikirkan, dan apa yang aku pikirkan sepenuhnya berbeda.”
“Kau menggantungkan kebahagiaan dan ketidakbahagiaanmu pada satu hal itu. Bagi seorang perempuan, hal itu cukup masuk akal, namun jika kau melihatnya dari sudut pandangku, bagaimanapun aku merasakan bahaya yang tak tertahankan.” (halaman 166)
“Kau seharusnya lebih santai dalam menghadapai permasalahan-permasalahan. Kau memiliki kendali atas itu.”
Setelah perdebatan yang panjang, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk mengakhirinya dan menjalani kehidupan dengan tenang. Namun sesungguhnya kedamaian yang hambar itu begitu membosankan. Bagi sang suami perasaan Kuniko terhadap dirinya menjadi penghalang besar. Dan Kuniko yang merasa kesepian kemudian memutuskan untuk bunuh diri oleh sebab ketidakmampuannya menanggung kepedihan.
“Cobalah untuk tak terlalu peduli. Tak peduli. Jika kau merasa gembira dalam perasaanmu, maka aku dapat mencurahkan diriku dengan pikiran tenang pada pekerjaanku.” (halaman 197)
“Jangan ganggu aku lagi. Kau adalah kau. Lakukan apa pun yang kau inginkan. Aku adalah aku. Aku tak ingin bernegosiasi denganmu atas dasar perasaan macam itu.” (halaman 198)
“Bukankah baik jika aku adalah aku dan kau adalah kau? Wajarlah jika aku larut dalam pekerjaanku dan kau tak dapat bersamaku. Jika kau berperilaku sebagaimana biasanya, itu baik. Ketika kau menampakkan wajah yang depresi, aku akan marah yang sama besarnya dengan aku bersemangat.” (halaman 196).
Banyak kutipan yang menarik, tapi cukup dibatasi sampai di sini saja. Menulisnya cukup pegal :).
Cerita di atas bukan dimaksudkan untuk melegalkan perselingkuhan. Menurut aku mungkin penulis mengambil model perselingkuhan karena umumnya ini bukan kasus yang biasa, terutama untuk mereka yang terikat dalam pernikahan. Pesan dalam cerita ini bersifat universal untuk segala permasalahan yang ada.
Kisah ini menyampaikan pesan bahwa kebahagiaan kita tidak ditentukan oleh apa dan siapa. Seringkali kita berpikir bahwa kita akan bahagia jika memiliki pasangan atau suami seperti A, memiliki anak-anak yang pintar, tampan dan cantik, dan lain sebagainya. Dan ketika kita tidak mendapatkan ‘ukuran kebahagiaan’ yang kita bikin sendiri itu maka kesedihan menyelimuti. Tanpa sadar kita akan melampiaskan kekecewaan dan keputusasaan kepada mereka yang kita anggap tidak mampu memenuhi kebahagiaan kita. ‘Perasaan’ itu tidak hanya mengganggu diri kita namun juga mereka yang menjadi korban ketidakberdayaan diri kita sendiri.
Konon perkawinan adalah penyatuan dua jiwa. Namun sebagai individu mereka tetaplah sendiri-sendiri. Baik diri kita dan pasangan memiliki keinginan dan capaian yang berbeda. Sebuah hubungan yang sehat kata seorang pakar adalah ketika kita bisa saling mendukung dan memercayai satu sama lain. Menjadi ibu rumah tangga dan sepenuhnya merawat anak-anak tidaklah salah, lebih baik lagi jika di sela rutinitas itu pun kita dapat menyediakan waktu untuk sesuatu yang kita sukai. Entah berkebun, membaca buku, menjahit atau apa saja. Terlebih lagi jika bisa bergabung di dalam komunitas kegemaran kita tersebut. Hal-hal seperti ini mampu membangkitkan antusiasme dan bisa menghilangkan perasaan tak berdaya yang berujung pada ketidakpuasan terhadap kehidupan yang kita jalani.
Demikian juga dengan rutinitas yang kita lakukan. Dinamika hidup tidak semata pada pekerjaan. Masih banyak hal menarik yang bisa kita lakukan. Dan seperti kata kata Pak Cik Andrea Hirata, jika kita ingin merasakan sari pati kehidupan, maka hiduplah untuk hidup. Atau mengutip kata Pak Guru John Kaeting di Dead Poets Society, Seize the Day, Live your life to the fullest!
pedih mbak,,, aq kalo baca buku ini pasti sangat larut dlm kesedihan,, kok gak masang covernya mbak?
@jamal: aku suka cara si tokoh menuturkan pandangan dan pemikirannya :). Covernya ada di bawah tulisan ini 🙂
Gak tau mu komentar apa lagi ya….jempol aja deh!!!
Penasaran sekali dengan buku yg anda resensi. Semoga masih ada di toko buku. Saya penasaran dengan dialog-dialog yg ada di dalam cerpen Kuniko secara keseluruhan.