Judul: Fenomenologi Wanita Ber-high heels
Penulis: Ika Noorharini
Penerbit: PT Artha Kencana Mandiri
Tahun terbit: 2015
Tebal: 112
Wanita dan high heels adalah dua kata yang nyaris tak terpisahkan. Sepatu hak tinggi yang kehadirannya begitu biasa di masyarakat ternyata memiliki latar belakang sejarah yang menarik. Hai, tahukah Anda, ternyata pelopor sepatu high heels adalah kaum pria loh 🙂
Walaupun saya sendiri bukan penyuka high heels, tetapi membaca buku karangan Ika memperluas wawasan saya tentang sepatu favorit kaum hawa ini. Bermula dari kecintaannya terhadap sepatu tumit tinggi, Ika membuka rasa ingin tahunya mengenai beragam pandangan wanita mengenai high heels. Buku ini adalah adaptasi dari hasil tesis pascasarjananya. Namun demikian jangan membayangkan bahwa buku ini sarat dengan hasil penelitian yang kaku dan formal, sebaliknya Ika menggambarkan dengan apik dan gamblang mengenai hubungan erat wanita dengan high heels. Disertai kisah menarik dan unik dari pengalaman para pecinta high heels, dijamin Anda tidak bosan membacanya.
Review
Tak perlu diperdebatkan bahwa wanita selalu ingin tampil cantik. High heels adalah salah satu elemen cantik wanita. Sepatu tumit tinggi yang memiliki bentuk ramping dan desain menarik ini mampu memukau perhatian para wanita. High heels mampu memberikan rasa percaya diri kepada pemakainya. Tidak hanya menaikkan kepercayaan diri, namun high heels memiliki keberagaman makna tersendiri bagi pemakainya.
Uniknya, keberadaan sepatu hak tinggi ini ternyata dipelopori oleh kaum adam. Tepatnya, pasukan berkuda dari Shah Abbas I, raja Persia. Penggunaan high heels masa itu selain untuk menguatkan penampilan fisik juga memiliki makna simbolik untuk menunjukkan superioritas dan kelas yang lebih tinggi. Ternyata pengaruh ketampanan ini menulari kaum bangsawan Eropa barat (saat itu, raja Persia memiliki pasukan berkuda terbesar di dunia dan tengah berupaya memperbesar wilayah kekuasaan mereka di Eropa). Sementara itu sebagian besar Eropa saat itu dikuasai oleh kerajaan Ottoman (Turki). Karenanya, raja Shah mencoba membangun hubungan diplomasi dengan Eropa Barat untuk memperkuat pasukan dan mengalahkan kerajaan Ottoman. Hubungan diplomatik ini secara perlahan memberikan pengaruh estetika bagi para kaum bangsawan Eropa Barat yang kemudian mengadopsi high heels.
High heels kemudian mengalami perubahan dan pengembangan. Siapapun bisa mengenakan sepatu dengan hak tinggi. High heels umumnya banyak dikenakan oleh pekerja kantoran. Sepatu yang awalnya berfungsi sebagai pelindung kaki menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih dalam, yaitu media komunikasi, sebagai interaksi si pemakai kepada dunia luar, untuk mengungkapkan apa yang ada di hati dan pemikiran penggunanya. Mengutip tulisan di buku,
“Ada motif, makna, status diri dan perilaku di dalamnya.”
Pada akhirnya, menurut Ika, dikutip dari halaman 100.
“high heels bukanlah sekedar makna dan benda konkret karena wanita mendapatkan kepercayaan diri yang dapat membius siapapun di sekitarnya. Mungkin saja terbangun sifat superior, walaupun yang paling utama adalah bagaimana meningkatkan kualitas interaksi dengan siapapun melalui keindahan fisik dan mental. Keragaman makna high heels bagi wanita membentuk konsep diri masing-masing yang berbeda secara diametral. Artinya, tidak semua wanita terpengaruh dengan pemaknaan fashion sebagai citra diri dalam pergaulan masyarakat.”
Untuk Ika, terima kasih untuk bukunya yang mencerahkan 🙂