Dewi Kawi

Judul Buku: Dewi Kawi
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Tahun Penerbitan: 2008
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Eling adalah pengusaha kaya yang memulai hidupnya dari mengumpulkan sisa-sisa daun kol yang membusuk. Di masa silam ia pernah mencintai seorang wanita yang kemudian menjadi sumber inspirasinya. Kawi, nama wanita itu. Eling ingin membalas budi kebaikan wanita itu dengan memberi nama kehormatan Dewi Kawi untuk satu usaha bisnisnya. Ia berniat mencari Dewi Kawi.

Satu setengah tahun kenangan bersama Kawi merupakan peristiwa-peristiwa terpadat dalam hidup Eling. Namun ajaib ia tak lagi bisa mengingat dengan baik wanita yang pernah lekat dalam hidupnya. Untuk akhirnya Eling ragu, apakah wanita itu pernah benar-benar ada dalam kehidupannya? Apakah ia mencintainya? Atau apakah ini semua hanya khayalan yang berusaha ia ciptakan agar seolah-olah menjadi nyata? Bukankah untuk seorang pengusaha sukses seperti dirinya maka kisah hidupnya dianggap menjadi sebuah kebenaran?

Bagi Eling, kenyataan atau kebenaran ternyata bukan apa yang dialami, melainkan juga bisa diciptakan kembali, dibentuk kembali, dan kemudian dipercaya bersama orang lain.

Demikian juga kisah cintanya dengan Kawi, sungguhkah ia mencintai wanita itu? Atau ia yang menghidupkan, melebih-lebihkan dan membuat segala sesuatunya menjadi indah? Seperti halnya sebuah dusta. Manusia memerlukan dusta sebagaimana ia memerlukan bernapas. Dusta adalah upaya yang wajar untuk membuat sebuah perubahan dari peristiwa yang terjadi.

Arswendo mengibaratkan dusta sebagai berikut:
Dalam keadaan jatuh cinta, kita menangkap senyuman sebagai perhatian, kita menemukan realitas lain dari sebatang cokelat sebagai sesuatu yang istimewa. Mereka yang tengah jatuh cinta sebenarnya sedang mendustai dalam pengertian mengubah realitas yang ada.

Cinta adalah dramatisasi, rekonstruksi ulang segala kejadian yang dialami-atau tak dialami secara langsung. Ketika kita larut di dalamnya , dan tak mampu membedakan mana peristiwa yang sesungguhnya dan mana yang olahan, sempurnalah sudah libatan emosi itu.

Dan ukuran cinta tidak sekedar perhatian tapi juga ada ikatan emosional yang rutin di dalamnya. Maka,itulah sebabnya putus cinta bagai meneteskan air mata hangat, karena membekas. Masalahnya memang, hanya kenangan.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.