Judul: Garis Batas
Penulis: Agustinus Wibowo
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 510
Apa yang menarik dari sebuah perjalanan? Bertemu orang-orang baru, mempelajari kebudayaan dan tradisi yang berbeda, menyingkap sejarah sebuah peradaban dan masih banyak lainnya. Namun, puncak dari semua itu adalah perenungan bathin untuk mengenal diri sendiri dan memaknai kearifan hidup.
Agustinus Wibowo, pria kelahiran Lumajang ini mengisahkan perjalanannya ke negara-negara pecahan Uni Soviet di Asia Tengah. Negara-negara bekas republik Soviet ini merupakan sebutan bagi lima belas negara baru yang muncul akibat bubarnya rezim komunis di Uni Soviet. Kelima belas negara itu dibagi menjadi kelompok, yaitu: negara-negara Baltik, Eropa Timur, Kaukasus Selatan, Rusia, dan Asia Tengah. Rusia, induk semang dari semua negara bekas Uni Soviet itu masih menjadi negara terluas di muka bumi. Luas wilayah ke empat belas negara pecahan Uni Soviet lainnya masih kalah luas dibandingkan dengan Rusia, bahkan tak sampai setengahnya. Negara-negara bekas republik Uni Soviet di Asia Tengah ini adalah: Kazakhstan, Kirgizstan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Negara-negara_bekas_Uni_Soviet)
Dari semua negara berakhiran stan (stan menurut bahasa Persia artinya tanah, atau dapat juga dimaknai sebagai tanah bangsa), Tajikistan adalah negara paling kecil dan paling miskin. Walaupun miskin tidak ada penduduknya yang mengemis. Dan yang paling menakjubkan angka melek huruf hampir 100% di Tajikistan. Hal ini disebabkan pemimpin Uni Soviet pada masa itu sangat memperhatikan pendidikan.
Tajikistan terletak berdampingan dengan Afghanistan. Kedua negara itu hanya dibatasi oleh sebuah sungai yang lebarnya tidak lebih dari 20 meter. Sungai itu bernama Amu Darya. Bangsa Yunani menamai daerah ini Transoxiana, daerah lintas sungai oxus. Bangsa Arab menamai Mawarannahr, tanah seberang sungai. Sungai Amu Darya menjadi pembatas Afghanistan dan Tajikistan.
dokumentasi gambar dari sini.
Afghanistan adalah negara yang babak belur karena perang berkepanjangan, tetapi mereka tidak pernah rela dijajah dan selalu melawan dengan gigih. Bangsa Afghan memiliki sebuah pepatah bijak, โjangan menyumpahi gelap, tapi segera nyalakan lilin (hal 45).
Afghanistan dan Tajikistan dibatasi oleh sebuah garis batas, garis yang memisahkan manusia dalam zona dan dimensi berbeda. Manusia di kedua sisi sungai itu saling melihat dan melayangkan imajinasi mereka atas dunia lain di luar sana. Orang-orang Afghanistan memuji Tajikistan yang bebas dan modern. Sebaliknya orang Tajikistan mengagumi Afghanistan yang semakin kaya.
Dahulu, ketika pasukan Rusia datang ke bantaran sungai Amu Darya dan mengamankan batas kekuasaan mereka, tentara merah membanjiri Tajikistan dengan buku-buku merah lenisisme, marxisme dan stalinisme. Urusan Tajikistan menjadi urusan Moskow. Penduduk Tajik menjadi orang rusia, orang soviet. Semua dikendalikan oleh pusat. Pada masa itu, tidak ada rakyat yang menganggur dan kelaparan. Semua orang bekerja, semua orang tidak kelaparan walaupun mereka juga tidak memiliki uang banyak. Semuanya sama rata. Bubarnya Uni Soviet menyebabkan beberapa negara yang berada di bawah kepemimpinan Stalin limbung dan tak siap. Akibatnya negara-negara seperti Tajikistan dan Kirgizstan hidup di dalam kemiskinan.
Di negara-negara bekas republik Uni Soviet ini masih banyak ditemui orang-orang yang merindukan kejayaan masa lampau, ketika segalanya tercukupi. Barangkali karena kehidupan saat ini dirasa sulit bagi mereka. Namun kisah Dudkhoda berbeda, katanya:
“Memang hidup di zaman Uni Soviet jauh lebih mudah, semua orang punya pekerjaan. Semua orang tak kelaparan. Tetapi, saya lebih memilih bersama Tajikistan, karena dalam komunisme, semua orang sama, semua orang sejajar. Kamu bekerja atau tidak pun tetap diberi makan. Orang tak perlu berpikir untuk bertahan hidup, negara menjamin semuanya. Tetapi, otak jadi tumpul, orang jadi bodoh. Sekarang, zaman berganti. Tajikistan sudah bebas. Negara kami memang miskin, tetapi kami dipaksa untuk berjuang. Kami harus berpikir untuk bertahan hidup, otak kami bekerja kembali. Hidup memang berat, tetapi aku yakin, inilah yang terbaik untuk masa depan Pamir.” (halaman 102-103)
Barangkali masih banyak orang-orang yang memiliki sikap sama dengan Dudkhoda diantara mereka yang terperangkap dalam kenangan masa lalu.
Selepas Tajikistan dan Kirgizstan, negara berikutnya yang menjadi tujuan si penulis adalah Kazakhtan, Uzbekistan dan Turkmensitan. Perekonomian di negara Kazakhtan lebih baik dibandingkan kedua negara sebelumnya, oleh karena limpahan sumber daya minyak dan gas yang dimiliki negara tersebut. Kazakhtan memiliki luas wilayah yang sangat luas, bahkan jika seandainya luas wilayah ke empat negara stan lainnya dijadikan satu. Wilayah padang rumput yang dihuni oleh para gembala (penduduknya dinamai Almaty) ini telah bermetamorfosis menjadi negeri kaya dan modern. Harga-harga di kota ini pun sangat mahal. Kota kedua yang menyerupai Almaty adalah Atyrau. Walapun kalah modern dengan Almaty namun konon biaya hidup di kota ini lebih mahal. Berbanding terbalik dengan penduduk lokal, kehidupan para ekspatriat mancanegara dan eksekutif Kazakhtan bergelimang kekayaan, sementara penduduk setempat menganggur dan tetap miskin. Jurang kaya dan miskin yang sangat jauh menyebabkan kota ini rawan kejahatan.
Samarkand, dahulu kota ini pernah menjadi pusat peradaban di Asia Tengah. Kota ini terletak di Uzbekistan, salah satu negeri stan lainnya. Di kota ini lah dahulu para ilmuwan, filsuf dan pujangga dilahirkan. Kecemerlangan Samarkand bahkan membuat takjub dunia barat.
Dengan 510 halaman kisah perjalanan di dalam buku ini terasa padat dan bergizi. Pembaca diajak larut menyusuri setiap cerita dan pengalaman bathin setiap tokoh dan peristiwa. Bagi Gus Weng (nama panggilan Agustinus Wibowo), mengutip kata pengantar di buku ini garis batas tidaklah sekedar garis biasa, garis batas negara yang dibuat oleh manusia. Garis Batas juga melukiskan pergulatan panjang antara benturan diri, dan titik-titik batas yang semu. Garis yang tidak hanya mencerminkan kedinamisan manusia itu sendiri, tetapi juga melukiskan kondisi yang mengubah seluruh sendi kehidupan.
Sebagai catatan, saya terkesan dengan keyakinan penganut ismaili, yang menekankan pentingnya menyediakan tempat tinggal dan makanan bagi musafir sebagai pengganti ibadah haji mereka. Sementara kehidupan mereka sendiri sangat miskinnya. Dan menempatkan cinta kasih kepada sesama sebagai bagian tertinggi dari ibadah.
Seperti Gandhi, yang menempatkan kebaikan, cinta kasih, dan persaudaraan sebagai hakikat dari agama, maka esensi beragama sesungguhnya sesederhana itu, berbuat baik kepada semua makhluk ciptaan-Nya.
Catatan lainnya yang menarik adalah pendidikan. Di negara yang perekonomiannya tertatih-tatih, penduduknya masih memandang bahwa pendidikan merupakan bagian yang mengambil peran penting.
Buat saya, ini buku kisah perjalanan yang mempesona. Saya tak hanya sekedar mengunjungi tempat-tempat namun juga belajar sejarah dan budaya yang menyertainya. Keren pokoknya ๐
Wah sayang sekali mbak enggar nggak datang ke IRF kemarin, Gus Weng datang ke booth BBI ๐
@Helvry: Iya mas, aku baca tweet2 kalian di twitter. Ah, iriii… :(. Ramah ya? Suka deh kalau ada penulis kaya gitu :). Aku me-mention Beliau di twitter juga dibalas :).