Judul: Madre
Penulis: Dee (Dewi Lestari)
Penerbit: Bentang
Tahun Terbit: 2011
Halaman: 160
“…, kata “Madre” itu ternyata berasal dari bahasa Spanyol, artinya “ibu”. Madre, Sang Adonan Biang, lahir sebelum ibu kandung saya. Dan dia bahkan sanggup hidup lebih panjang dari penciptanya.”
Madre adalah kumpulan cerita yang terdiri dari 13 karya fiksi dan prosa pendek.
Madre berkisah tentang seorang laki-laki muda bernama Tansen yang diberi warisan sebuah adonan biang roti bernama Madre. Madre merupakan cikal bakal dari tumbuhnya toko roti Tan De Bakker, yang dimiliki oleh laki-laki bernama Tan. Tan muda bertemu Laksmi ketika mereka bersama-sama bekerja di toko roti. Demi melihat talenta laksmi, Tan mengajak Laksmi keluar dari toko roti dan kemudian menjual roti sendiri. Dari kecil-kecilan sampai kemudian Tan memiliki toko. Kedekatan mereka berubah dari sahabat menjadi saling jatuh cinta. Tan dan Laksmi menikah. Laksmi yang mewarisi darah India tidak diterima oleh keluarga Tan, begitupun sebaliknya. Akibatnya, mereka berdua diusir dari keluarga masing-masing. Malangnya, nenek Tansen tidak berumur panjang. Tak lama setelah Kartika lahir (Ibu Tansen), Laksmi meninggal. Hidup Tan kocar-kacir dan hampir bangkrut. Namun pertolongan datang dari keluarganya. Setelah Laksmi tiada, hubungan keluarga mereka akur kembali. Dan jadilah toko roti yang sekarang ditempati oleh Pak Hadi dan kondisinya mati suri.
Tanpa secuilpun pengetahuan mengenai roti, laki-laki yang menikmati hidupnya dalam ruang kecil yang ia beri nama kebebasan, tentu saja Tansen menolak untuk mengurusi toko roti yang telah lama tak beroperasi ini. Pertemuannya dengan Mei, menguatkan niat Tansen untuk menjual Madre kepada perempuan pengusaha roti itu. Namun obrolannya dengan Pak Hadi dan sejarah masa lalu neneknya membuat Tansen berubah pikiran. Madre bukan sekedar biang roti biasa, selain cita rasanya yang memang unik, ia juga menyimpan kenangan. Madre adalah adonan biang roti yang dikulturkan oleh neneknya, umurnya saudah tujuh puluh tahun. Biang roti itu bahkan sanggup bertahan hidup melebihi dari umur penciptanya.
Bersama dengan Pak Hadi dan rekan-rekan sejawatnya serta Mei, Tansen membangun kembali toko roti warisan kakek dan neneknya. Toko roti itu berganti nama menjadi Tansen De Bakker.
**
Selain prosa pendek ada dua cerita yang juga saya sukai. Pertama, Have You Ever dan Semangkuk Acar untuk Cinta dan Tuhan.
Have You Ever bercerita tentang seorang laki-laki di kehidupannya yang telah matang kemudian mendapat kejutan berupa surat dari seorang perempuan, yang baru dikenalnya sebulan yang lalu. Keduanya menyadari bahwa ada sesuatu yang tak terjelaskan di antara mereka. Sepertinya mereka saling terhubung satu sama lain. Sampai kemudian si perempuan memberinya sebuah surat. Surat berisi sebuah tanda yang bisa ditelusuri oleh lelaki itu untuk mencari pembuktian atas perjanjian abadi antara mereka berdua. Beranikah lelaki itu mengambil keputusan yang sangat penting dalam hidupnya?
“Hidup telah menunjukkan dengan caranya sendiri bahwa aku senantiasa dipandu. Tak perlu tahu ke mana ini semua berakhir. Bagiku, itulah keajaiban yang kucari, yang dihidangkan semesta bagiku, dan kulahap abis… Jiwaku kenyang sudah”
Dan pada kisah kedua, Semangkuk Acar untuk Cinta dan Tuhan.
Apakah itu cinta?
Apa itu Tuhan?
Si pencerita meminta si pewawancara untuk mengupas kulit bawang merah dari semangkuk acar yang ada di hadapannya dengan kuku. Maka berdua mereka terus menguliti bawang sampai tak bersisa lagi.
“Inilah cinta. Inilah Tuhan. Tangan kita bau menyengat, mata kita perih seperti disengat, dan tetap kita tidak menggenggam apa-apa.
Sambil terisak, yang bukan karena haru bahagia atau harus nelangsa, lagi aku berkata. “Itulah cinta. Itulah Tuhan. Pengalaman, bukan penjelasan. Perjalanan, bukan tujuan.”
**
Dee selalu menarik dengan kedalaman kata-katanya.
Dan, satu hal yang cukup mengusik hati saya, apakah ada restoran yang menggunakan kaldu biang yang dikulturkan bertahun-tahun lampau sebagai bumbu sup atau masakan lainnya?
Untuk roti, ya saya mengerti. Tapi, kaldu? Bagaimana caranya? 🙂
“Inilah cinta. Inilah Tuhan. Tangan kita bau menyengat, mata kita perih seperti disengat, dan tetap kita tidak menggenggam apa-apa.”
Saya juga suka banget quote ini hehe. Tepat sasaran.
@Annisa: salaman donk 🙂