Sinopsis buku Istanbul karya Orhan Pamuk ini sudah saya posting di tulisan sebelumnya. Lalu apa yang membuat saya menuliskannya kembali? Membaca buku ini membuat saya tertarik mencari tahu sejarah Khilafah Utsmaniyah. Dalam peradaban islam, khilafah Utsmaniyah ini termasuk yang memiliki periode paling lama kekuasaanya, sekitar 625 tahun (enam seperempat abad) di sekitaran abad ke-12 sampai abad 16.
Kejayaan dan keruntuhan sebuah pemerintahan ditentukan oleh pemimpinnya. Ini lah yang terjadi di Istanbul. Menjelang jatuhnya Kesultanan Utsmaniyah, disebabkan oleh perilaku para pemimpinnya yang tamak dan hidup bermewah-mewah serta menyengsarakan rakyatnya melalui pajak yang tinggi. Dan juga disebabkan oleh ketidaktegasan penguasa yang memimpin kota serta konflik internal diantara para penguasa.
Sementara itu, Eropa muncul sebagai kekuatan baru dengan teknologi perangnya yang modern. Kekuatan Kesultanan Turki Usmani yang semakin turun membuka peluang bagi Barat untuk mengambil kembali seluruh wilayah Eropa yang pernah dikuasai Kesultanan Usmani.
Istanbul kemudian menjadi negara Republik sekuler melalui presiden pertamanya, Mustafa Kemal Atatürk. Menjadi sekuler barangkali bukanlah keinginan penduduk Istanbul, namun mungkin pilihan terbaik saat itu, ketika sebagian mereka merasakan bahwa agama telah dijadikan alat untuk menindas dalam sebuah sistem kenegaraan.
Di bawah kepemimpinan Atatürk yang sekuler (Sekuler secara harfiah berarti memisahkan hukum negara dengan agama) maka meninggalkan agama berarti menjadi modern dan Barat.
Eforia kebudayaan Eropa melanda kaum borjuis yang ditampakkan dalam rumah-rumah mereka. Pamuk menggambarkan ini dalam cerita benda-benda ala Eropa yang dipamerkan di lemari-lemari kaca kaum kaya Istanbul. Menjadi Eropa adalah pilihan kaum kaya Istanbul untuk meningkatkan status mereka. Sementara itu agama menjadi lekat bagi masyarakat miskin. Keluarga borjuis menyamakan kesalehan dengan kemiskinan, sementara kaum mereka sendiri yang tidak percaya kepada Tuhan tidak sepenuhnya memiliki keberanian untuk memutuskan ikatan.
Keinginan untuk lepas dari (kejayaan) dan keruntuhan masa lalu dan menjadi negara yang modern dan makmur menjadi sebuah tekad bagi bangsa Turki dan karenanya mereka meyakini bahwa segala yang berkaitan dengan agama harus dihindari. Walaupun nyatanya pengingkaran itu menimbulkan rasa ambigu.
Istanbul dalam buku Orhan Pamuk memberi gambaran bagaimana sebuah kota yang mengalami kegemilangan lalu runtuh dan mencoba bangkit kembali dalam perasaan seorang anak yang keterikatannya dengan kota kelahirannya begitu lekat. Kenangan akan sebuah kota yang membentuk keseluruhan dirinya dalam baris-baris puisi dan kisah romantik laut Bosphorus, laut yang menjadi hiburan satu-satunya bagi penduduk saat kepekatan pernah melanda negeri dimana sebuah peradaban agung pernah berdiri.