Judul: Kinanthi Terlahir Kembali
Penulis: Tasaro GK
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Tebal:534
Kinanthi, merupakan bagian dari tembang atau puisi tradisional Jawa, yang menggambarkan tahapan kehidupan manusia.
Diawali dari Maskumambang. Tembang pertama ini menceritakan ketika calon bayi berada dalam kandungan ibunya. Mas artinya belum ketahuan apakah si calon bayi laki-laki atau perempuan. Kumbang artinya hidup calon bayi itu mengambang dalam kandungan si ibu.
Tembang kedua adalah Mijil, ketika bayi sudah lahir, sudah diketahui pula jenis kelaminnya. Selanjutnya adalah tembang Kinanthi, yang berasal dari kanthi atau tuntun. Artinya dituntun supaya anak manusia bisa berjalan menepuh kehidupan di alam dunia.
Berikutnya, Sinom, artinya kanoman, yaitu bekal untuk para remaja supaya menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Dilanjutkan oleh tembang kelima, Asmarandana yang berarti rasa cinta kepada seseorang. Kemudian Gambuh, asalnya dari kata jumbuh. Maksudnya, jika dua orang laki-laki dan perempuan sudah jumbuh, cocok, sebaiknya disatukan dalam sebuah pernikahan.
Tembang ketujuh, Dandanggula, menggambarkan hidup seseorang yang sedang bahagia. Apa yang diingini bisa terlaksana. Punya keluarga, anak, harta yang cukup. Makanya, orang yang bombong atine, senang hatinya, dikatakan sedang ndandanggula.
Selanjutnya, Durma, tembang yang sulit. Durma memiliki arti weweh atau bederma. Seharusnya, ketika seseorang sudah hidup serbacukup, akan muncul dalam hatinya keinginan untuk berbagi. keinginan untuk menolong sesamanya yang sedang mengalami kesulitan.
Pungkur adalah tembang berikutnya yang memiliki maksud untuk menyingkir dari segala nafsu angkara murka. Hal yang dipikir adalah bagaimana menolong orang lain, tidak lagi memikirkan kepentingan pribadi. Semua untuk orang lain.
Dan terakhir adalah, Megatruh dan Pocung. Megatruh artinya putus nyawa. Seseorang harus rela untuk kembali kepada Sang Pencipta, jika saatnya tiba. Dan Pocung, berarti hidup kita akan berakhir dengan kain mori putih atau pucung kemudian dikubur.
Review
Kinanthi bercerita tentang seorang anak dari sebuah dusun yang dijual oleh orang tuanya demi 50 kg beras. Kemiskinan yang parah membuat orang tua Kinanthi tak memiliki pilihan lain. Kinanthi merasa sakit hati. Ia dipaksa meninggalkan kampung halaman, adik dan laki-laki teman bermain yang dicintai dan mencintainya diam-diam. Lelaki yang tak pernah sekalipun hilang dari ingatan Kinanthi.
Bermula dari menjadi pembantu rumah tangga di Bandung dari orang tua yang ternyata merupakan penyalur pembantu rumah tangga. Kemudian dijual dan menjadi TKI di tanah Arab. Harapan akan kehidupan yang lebih baik di tanah Arab alih-alih menyisakan kepedihan. Beberapa kali kabur dari tempat majikan, ditipu, disiksa serta ancaman perkosaan adalah bagian perjalanan hidup yang harus dilalui Kinanthi. Sampai suatu hari, ia menerima pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga untuk pasangan yang akan berangkat ke Amerika.
Berubahkah hidup Kinanthi di Amerika? Ternyata, kesengsaraan dan kegetiran belum menghilang dari Kinanthi. Pasangan yang semula baik ternyata memperlihatkan keaslian karakter mereka. Ada skenario balas dendam dari majikan Kinanthi sebelumnya. Penderitaan Kinanthi belum lah usai. Sampai suatu hari ia ditemukan oleh seorang perempuan Arab yang terenyuh melihat kondisinya di sebuah pagi di masjid. Dan melalui pengadilan Amerika, kehidupan Kinanthi berubah.
Ulasan:
Yang menarik dari buku ini adalah perenungan dan pemikiran yang dihadirkan melalui tokoh Kinanthi. Contohnya, penderitaan yang diperoleh Kinanthi dari majikan-majikan Arabnya, kegiatan Ibu asuhnya yang menganggap perlawanannya sebagai wujud perjuangan bagi kaum perempuan Islam digambarkan membuat Kinanthi berkesimpulan bahwa agama semakin membuatnya tidak merasa nyaman.
“Aku bahkan tidak peduli bagaimana kalian akan shalat,” Kinanthi mengalihkan pandangannya ke pintu,”Aku tidak memikirkan hal-hal semacam itu lagi. Buat apa? Agama tidak bisa mendamaikan hati kalian. Satu masjid saja saling mencaci dan mencari-cari kesalahan. Apa poinnya? Kalian sibuk berdebat bagaimana caranya menyembah Tuhan, tapi lupa untuk menyampaikan esensi kehendak Tuhan untuk menyebarkan kebaikan,” (halaman 265).
Atau di suatu dialog antara Kinanthi dengan rekan kerjanya.
Zhaxi: “Waktu ke India, seorang kenalan menghadiahi saya sebuah buku yang mengatakan, nabi orang Islam diakui juga oleh Buddha, Hindu, Zoroaster. Saya melihatnya sebagai sebuah kerinduan manusia untuk berdamai dengan sesama umat Tuhan. Berperang atas nama Tuhan bagi saya memang masih sangat membingungkan.” (halaman 300)
Obrolan menarik dari buku ini adalah bab dimana Kinanthi menjadi pembicara di acara peluncuran sebuah buku. Berikut adalah sepenggal kutipannya.
“Anda tahu, kita tidak bisa menghakimi sebuah kebudayaan dengan kacamata budaya kita. Namun dalam kasus Zana, justru dia yang mengalami gegar budaya ketika harus mempraktikkan pola tradisi lokal Yaman. Sementara sepanjang hidupnya sebelum itu, dia hanya mengenal kebiasaan masyarakat Inggris. Cara hidup yang rasanya biasa-biasa saja bagi para perempuan Yaman, pada waktu itu, berarti penderitaan tak terkira bagi Zana dan adiknya. Ini jelas tentang dua budaya yang saling memangsa, bukan saling melengkapi.”
Maka, apakah perlakuan kejam yang diterima oleh para TKI itu juga bisa disebut sebagai bentuk pemangsaan budaya? Mari kita baca komentar dari tokoh buku kita, Kinanthi.
“…Saya bekerja seperti kuda dan dinamakan pembantu rumah tangga. Saya lebih merasa diperlakukan sebagai budak.” (halaman 318)
Kesimpulannya (barangkali), sesuatu yang membuat seseorang tertekan, terpaksa, dan tidak bahagia atau yang ia yakini sebagai sebuah penyiksaan seumur hidup maka bisa dikategorikan sebagai bentuk adanya pemangsaan budaya atau … penjajahan?
Jika kita mengkaitkan agama (Islam) dengan nasib naas yang menimpa para TKI, maka kutipan di bawah ini patut disimak.
“Saya pikir kita mengalami kemunduran jika masih berpikir sebuah agama mengajarkan cara hidup semacam ini. Saya lahir di keluarga muslim meskipun tidak mempraktikkan ritus islam. Begitu juga Zana. Zana akhirnya menemukan keyakinannya dalam Islam, sedangkan saya baru sampai pada tahap meyakini harus ada pemisahan antara ajaran agama ini dan tingkah laku para penganutnya. Majikan saya semua muslim dan tidak ada satu pun di antara mereka yang mengenalkan nilai moral islam lewat perilaku mereka. Indonesia itu jumlah orang Islamnya nomor satu, begitu juga angka korupsinya. Saya pikir, Nabi Muhammad Saw. sebagai tokoh sentral agama ini, tahu benar detail ajaran agama ini tidak pernah mengajarkan korupsi.” (halaman 319)
Sebagai pembaca saya larut dalam pemikiran si tokoh Kinanthi. Saya tidak menafikan, acap kali pertanyaan serupa melintas, bagaimana mungkin seseorang bisa taat menjalani ritual agama sementara di saat yang sama dengan mudahnya melakukan pelanggaran nilai moral agamanya sendiri.
Ah, buku ini lumayan menguras pikiran juga loh :). Saya bertanya-tanya lalu apa yang mempengaruhi baik buruknya perilaku seseorang? Agama? Hati nurani? Logika? Atau malah mungkin semuanya? Entahlah.
Yang jelas ini buku bagus. Alih-alih menerka akhir cerita kepala saya justru penuh dengan berbagai pertanyaan yang berkelindan.